08. Kebahagiaan

652 136 15
                                    

"Mas? Kamu gak tersinggung kan?" tanya gue dengan nada lirih pada laki-laki yang masih terduduk di ruang TV rumahnya.

"Buat apa juga aku tersinggung, Rin. Gak ada gunanya. Hehe." jawabannya seakan memberi pertanda kalo dia belum bisa menerima kabar ini.

Gue akhirnya bilang ke Mas Yayan soal rencana kepindahan gue oleh Mama.

Mas Dewan sama Mbak Medina udah pulang, jadi di sini tinggal kami berdua. Gue sengaja gak ikut pulang bareng mereka karena mau ngomongin soal ini dulu ke Mas Yayan.

Gue turut duduk di sampingnya, di bawah sofa beralaskan karpet tebal. Kami berdua menyender di bagian bawah sofa dengan kaki yang berselonjoran. Suara TV yang sempat menjadi perhatian kami kini teralihkan dengan obrolan yang gue bawa saat ini. Rasanya berat banget, hawa nervous makin terasa pas dia juga menanggapinya dengan serius.

"Rin, jangan bilang ini yang mau kamu ceritain kemarin tapi malah gak jadi?" tanyanya menebak.

"Hmm. Iya, Mas." jawab gue disertai anggukan.

Dia malah tertawa, "Haha. Kamu merasa gak enak kalo misalkan mau ngomonginnya kemarin?"

Mengangguk lagi, "Hmm. Rasanya waktunya gak tepat aja gitu. Kamu lagi seneng-senengnya karena udah dibolehin pulang. Eh tiba-tiba langsung dateng kabar dari aku soal ini. Maafin aku, Mas."

Dia tertawa lagi, "Haha. Ga usah minta maaf, Rin. Toh kan kamu cuma mindahin barang aja, ya gak?" katanya merasa enteng dengan mengedipkan sebelah matanya.

Mas, ini gak lagi becanda ya. Gue udah serius begini, eh dianya malah genit.

Gue masih bingung mau menanggapi gimana lagi sebelum dia meneruskan berbicara dengan ekspresi wajahnya yang sangat tenang, "Mungkin mereka juga pengennya kamu nanti bisa rencanain lebih mateng lagi pas di rumah, Rin."

Gue hanya membisu setelah mendengar perkataannya.

"Nanti kan kita bisa ketemu lagi."

Mulai berdalih, "Mas, tapi kamu aja belum sembuh bener. Harus bedrest sampe sebulan, sedangkan kurang dari sebulan aku bakalan pindah." perasaan gue masih gelisah aja di dalam hati.

Gue emang sempat berpikiran pendek. Kalo gue pindah, semuanya bakal berakhir. Gue gak bakal bisa lagi untuk ketemu ngobrol, jalan bareng, apalagi sampe duduk kayak gini lagi sama Mas Yayan. Itulah mengapa gue merasa keputusan untuk menuruti ajakannya Mama itu jadi beban buat gue.

"Aku lagian udah gak kenapa-napa kok. Nih liat, leher aku udah gak bintik-bintik merah, badan aku udah gak menggigil, udah gak panas. Kamu gak perlu khawatir, ya?" memastikan kalo dirinya udah merasa baikan.

'Mas, jangan bilang gitu dong. Aku jadi makin sedih nih.'

Lalu dia bicara lagi, "Kalo aku nahan kamu, yang ada aku makin mempersulit kamu dan orang tua kamu. Aku paham Rin maksud dari mereka itu." seraya meraih tangan kiri gue, lalu digenggamnya perlahan.

Ukuran tangan Mas Yayan tuh lumayan besar, juga kulitnya yang halus dan lembab. Kalo tangan gue ukurannya cenderung dua kali lebih kecil tapi gak kekecilan untuknya. Cocok aja gitu masuk ke dalam genggamannya.

Tiba-tiba aja obrolan kami jadi random.

"Aku suka deh Mas, cara kamu genggamin tangan aku." sambil melihat dan menggerakan tangan kami, mengangkatnya sebentar lalu ditaruh lagi di atas pahanya.

"Tumben kamu ngomong gini?"

"Gak tau, rasanya pengen manja-manjaan ke kamu, Mas."

"Hahaha. Kamu tiap hari bukannya udah manja?"

[2] THE FUTURE - SEQUEL "THE ANNOUNCERS" ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang