21. Jangan Ragu

639 128 52
                                    

Pukul 11.30 malam, Mas Yayan belum pulang. Begitupun gue masih ada di sini, sejak gue pulang juga belum sempat masuk ke kosan. Kami berdua berpindah tempat ngobrol jadi di dalam mobil. Gue dan Mas Yayan masih menghadap pandangan ke depan kaca mobil tanpa saling menatap.

Semuanya larut tenggelam dalam pikiran masing-masing, obrolan kami masih serius. Sama-sama punya unek-unek yang dirasa perlu untuk disampaikan.

"Kamu berhak marah ke aku, Mas. Soalnya aku gak dateng ke bandara waktu itu." lalu menoleh ke arahnya.

"Kamu udah jelasin, Rin. Aku paham." masih menatap kaca mobilnya.

"Aku nyesel, Mas. Gak ngabarin kamu sebelumnya. Kamu boleh hukum aku, kok."

"Aku juga sama kayak kamu, Rin. Mau marah, mau ngehukum juga gak bisa. Alasan kamu ke aku juga karena kerjaan, kan?" tanyanya bernada sarkas.

Gue terdiam setelahnya, pandangan gue kembali beralih ke depan kaca.

"Iya." singkat gue.

"Mas, aku akhir-akhir ini sempat mikirin ini." lanjutnya gue berbicara dengan nada setenang mungkin.

"Soal apa?"

"Waktu itu, Mama nelpon. Dia mimpiin aku, katanya aku berantem sama orang. Emang kebetulan juga aku lagi marah sama kamu, Mas."

Obrolan gue sama Mama sebenarnya masih berlanjut malam itu. Karena Mama terus ngorekin masalah apa aja yang lagi gue hadapin. Jadilah gue ceritain semuanya termasuk hubungan gue dan Mas Yayan.

"Mama kamu sampe mimpiin?" gue merespons iya.

"Mas, aku gak bermaksud untuk gak menghargai permintaan kamu. Tapi kayaknya aku harus bilang ke kamu sekarang."

Secara bersamaan arah wajah kami saling menoleh dan berujung pada saling menatap. Gue udah berani melihatnya, terlihat bentuk pipinya yang masih sama tembem, hidung mancungnya dan mata rubah khasnya. Rambutnya juga udah sedikit berubah gayanya pada bagian poni yang terbelah.

"Dari semua yang kita jalanin sekarang, aku sadar kalo aku emang sayang banget sama kamu, Mas. Tapi, kayaknya aku harus berfikir lebih jauh soal ini."

Lalu gue membuka ransel bagian tengah, mencari benda yang selama ini jadi bayang-bayang gue beberapa minggu terakhir. Benda yang pernah dikasih Mas Yayan di tempat yang sama, di depan kosan. Benda berbentuk kotak merah kecil yang isinya mudah ditebak. Gue mengeluarkan benda tersebut dihadapannya.

"Rin, kamu..." maniknya tiba-tiba melebar. Mungkin dia kaget kalo kotak cincin itu udah ada lagi di sini.

Diangkatnya kotak itu dengan setengah lengan, "Aku selalu bawa ini kemana-mana, Mas. Aku juga udah cerita ke Mama soal niat baik kamu."

Dia masih memperhatikan gue berbicara.

"Tapi aku merasa...terlalu cepat buat nerima ini, Mas." ungkap gue terbata-bata, lalu menunduk.

"Aku udah bilang, kamu bisa terima itu nanti. Aku cuma mau kamu pegang dulu, Rin." tenangnya.

Gue melanjutkan, "Mama bilang, aku gak boleh ngebiarin orang itu nunggu, sementara aku sendiri merasa terbebani."

"Maksud kamu apa, Rin?" terdengar suaranya yang kini berubah menjadi waswas.

Mata gue turun ke bawah menghadap sepatu sneakers yang gue kenakan. Sesekali melipat bibir, gue takut mau ngelanjutin pembicaraan ini. Tangan gue gemeteran, kaki gue berasa dingin banget. Gue gak tau Mas Yayan bakal bereaksi kayak gimana setelah dengerin ini.

"Mas, kalo aku gak pengen nikah sekarang, gimana?" kemudian ditatap wajah gelisahnya itu.

"Kamu masih mau nemenin aku kan, Mas?"

[2] THE FUTURE - SEQUEL "THE ANNOUNCERS" ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang