24. Yakinlah

612 130 50
                                    

Disclaimer : This chapter has many triggered word.

-----------------------------------------------------------

Brian Revian Giandza POV










BRUKKKKK!!!!!!!!!!











Pandangan mata gue melebar sewaktu melihat Arina yang jatuh membentur sebuah benda di kepalanya. Beton tumpul yang biasa dipakai pembatas trotoar yang sering dilalui oleh pejalan kaki. Lokasi dia jatuh emang gak jauh dari tempat kami berdebat.

"RIN! ARINA! BANGUN RIN!" teriak gue kencang menghampirinya sambil menyebut namanya.

Masih terlihat matanya yang sedikit terbuka dan gue terus menggerak-gerakkan tubuhnya. Gue udah gak peduli lagi dengan apa yang terjadi sebelumnya. Orang-orang di sekitar sini semakin ramai akibat pertikaian yang mungkin dianggapnya sebuah kegaduhan di area kantornya Arina. Gue hanya butuh dia untuk terbangun sekarang juga.

Melihatnya yang gak sadarkan diri disertai bagian belakang kepalanya yang mengalir darah merah pekat membuat gue semakin panik. Tangan ini kemudian mengangkat kepalanya disertai isakan tangis gue yang gak bisa ditahan lagi.

"Mas, ambulannya udah datang." ucap seorang laki-laki berseragam putih dan navy disertai badge di atas saku dadanya bertuliskan 'satpam'.

Terdengar suara sirine kencang, mobil berwarna putih ambulans berasal dari kantornya Arina datang menghampiri dan mengeluarkan sebuah benda sejenis ranjang darurat. Lalu gue ikut membantu mengangkat tubuhnya dengan menopang kedua tangan dan dipindah ke atas brangkar.

"Wan, bawa mobil gue! gue naik ambulans." kemudian mengeluarkan kunci mobil dan hendak memberikannya.

"Bang tapi..." ragunya.

"BURUAN AMBIL!!!" gue melempar kunci tersebut lalu bergegas masuk ke ambulans.

Di sepanjang jalan, gue melihatnya yang sudah terpasang jarum infus dan juga perban yang terlihat jelas tembusan darah, masih belum berhenti keluar dari kepalanya. Tangannya dingin disertai raut wajahnya yang pucat pasi. Tangannya masih terus gue genggam dan merasakan denyut nadinya yang melemah. Gue semakin terisak merasakannya di sini.

'Plis tahan, Rin. Plis kamu harus bertahan' mohon gue padanya dalam hati.

Sesampainya di rumah sakit, buru-buru para perawat dan dokter mendatangi ambulans dan menurunkannya secara cepat. Lalu dibawanya Arina beserta brangkar ke dalam sebuah ruangan darurat yang letaknya gak jauh dari pintu masuk IGD. Secara bersamaan, datang mobil hitam gue yang dikendarai Wawan. Kemudian dia turun menghampiri gue yang masih panik sambil menangis, gue juga sempat melihat raut wajahnya yang kalut.

Ruangan IGD di sini cukup luas, gue dan Wawan masih belum saling bicara pasca terjadinya kecelakaan yang menimpa Arina. Dari tadi kami berdua hanya tertunduk dan berdiam duduk di kursi yang berjejer diantara para penunggu pasien lainnya. Gue mengekap kepala lalu mengusap-usap muka, masih terngiang di pikiran gimana dia berusaha narik gue dan ngeberhentiin pertengkaran antara gue dan Wawan.

Gue menyalahkan diri sendiri yang udah bertindak egois karena murka dengan perbuatan Wawan di depan mata gue.

Sebelum kecelakaan

Gue yang baru turun dari mobil, pengen cepat-cepat menghampiri Arina yang katanya udah nungguin di depan kantornya. Perasaan senang menyelimuti gue karena Mama Papa udah datang ke rumah. Mereka sebelumnya emang udah merencanakan liburannya buat mengunjungi rumah gue. Kebetulan juga mereka pengen kenalan sama Arina, makanya kemarin malam gue ngajakin dia buat ketemu Mama Papa di rumah.

[2] THE FUTURE - SEQUEL "THE ANNOUNCERS" ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang