Buku ini adalah tumpukan luka, duka juga sedu yang tidak pernah mampu saya sampaikan kepada Ibu juga sahabat. Saya tidak pernah ingin, orang yang mengenal saya, membacanya. Cerita di dalamnya, hanya berisi kerapuhan saya yang tidak bisa lagi saya tutupi. Dalam setiap kesedihan yang saya lukis menjadi tulisan, mereka lah sebentuk cara saya berdamai dengan diri sendiri, memaafkan kekurangan dalam diri, menerima kalau ternyata saya harus jatuh atau gagal lagi.
Dunia ini punya standar yang cukup ekstrem. Iya, ketika dihadapkan dengan masalah, kita dilarang untuk sedih, dan diwajibkan untuk tegar. Sayangnya, mereka tidak mengajari bagaimana caranya. Saya sering berandai, andai saja ujian hidup sama seperti Ujian Nasional, yang memiliki kunci jawaban serta kisi-kisi. Sayangnya kita lahir tanpa buku panduan, kita meraba sendiri kehidupan juga pelajaran yang termaktub di dalamnya. Saya tidak sedang menyalahkan Tuhan atas teknis kehidupan yang Ia ciptakan. Saya menyalahkan diri sendiri karena sudah 20 tahun saya hidup, tapi tetap saja tidak memahami aturan mainnya. Makin bertambah usia, saya makin sering berbicara dengan isi kepala sendiri, berdialog mengenai hidup. Sesekali merasa puas karena menemukan jawabanya, selebihnya merasa kesal karena saya tak tau ujung dari pertanyaan saya. Maka dari itu, saya selalu senang mendengar orang bercerita, memberi nasihat, membicarakan pengalaman hidup. Bagi saya itu adalah buku panduan dan sebentuk kisi-kisi untuk kehidupan. Saya senang mendengar dosen menjelaskan, bukan karena mata kuliahnya menyenangkan atau saya mahasiswa rajin tipe penyimak, bukan. Saya menikmati cara dosen menyampaikan moral value, menjelaskan sudut pandang, atau mendapatkan vibes dari cerita perjuangannya. Saya butuh energi untuk melanjutkan hidup dengan ketegaran sesuai standar.
Begitu juga cerpen dengan tajuk Poros Kehidupan. Saya dapatkan energi untuk menuangkan duka saya kedalam tulisan sebab obrolan sehabis subuh dengan seseorang yang tidak pernah saya sangka, akan ada ketika saya menganggap dunia tak memberi saya ruang.
Mungkin kalian akan bertanya, masalah apa yang sedang menghampiri. Jawabannya hanya rasa takut dan presepsi. Rasa takut, kalau-kalau saya kalah lagi, serta sudut pandang saya mengenai kehidupan yang sepaket dengan bahagia juga kesedihan.
Pada akhirnya, saya menyadari kalau saat ini yang paling berharga adalah momen. Saya tidak mau cepat sampai finish, karena barangkali bukan itu esensinya. Saya mau menikmati hari ini, apapun takdir yang Tuhan suguhkan. Saya mau menikmati keakraban, waktu bersama orang yang ada pada hari ini dengan tanpa membandingkan orang yang pernah ada pada hari lalu. Saya tidak mau berekspektasi untuk memaksa bahwa orang yang sedang bersama saya hari ini juga harus ikut serta dalam hidup saya besok. Saya tidak punya kendali atas keputusan final bagaimana nasib kita di hari esok. Bukankan kita hanya di suruh untuk berusaha, berdoa dan bertawakal.
Saya mencoba menikmatinya, meski lebih sering mengalami lupa. Saya terua mencoba. Saya hanya berusaha menjadi versi terbaik dari diri saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semoga Aku Pergi
PoetrySebuah tulisan tentang kesedihan. Tentang rumit di kepala yang menjadi teman dan beberapa keadaan yang memaksa kita menyerah, patah, hilang arah.