Hongjoong sejak awal mencoba kopi di usianya 14 tahun tahu bahwa dia ingin menjadi seseorang yang handal meracik kopi. Bukan karena kopi yang diminumnya rasanya enak, justru kebalikannya dan membuatnya bersumpah tidak akan memberikan kopi dengan rasa yang tidak enak kepada orang-orang yang menukarkan uangnya demi segelas kopi di kedai kopi yang dibuatnya di masa depan nanti.
Di saat semua orang lulus SMA berlomba-lomba untuk masuk universitas idaman, Hongjoong mencari kursus untuk menjadi barista. Tentu itu tidak membuat orang tuanya senang dengan keputusannya dan seperti orang tua pada umumnya, memaksa anaknya untuk berkuliah adalah suatu kewajiban. Mengira jika berkuliah akan menyelesaikan setengah beban hidup karena bisa mendapatkan pekerjaan kantoran dengan gaji yang baik.
Setelah dengan beberapa kali pertengkaran, air mata yang tumpah baik dari ibunya mau pun dari Hongjoong, akhirnya dia memang berkuliah, tetapi berkuliah online. Meski itu bukan hal yang diinginkan oleh orang tuanya, tetapi setidaknya Hongjoong berkuliah. Sembari menunggu waktunya untuk memulai perkuliahan, Hongjoong pergi ke kota lain untuk belajar tentang dasar-dasar kopi. Belajar selama beberapa minggu dan mendapatkan sertifikat bahwa dia telah menyelesaikan pendidikan, tetapi Hongjoong merasa kurang.
Jadi akhirnya saat kembali ke kotanya, Hongjoong mencoba melamar ke semua kedai kopi yang menurutnya cocok dengannya. Setelah dengan berbagai penolakan-penolakan yang diterimanya, akhirnya Hongjoong diterima di kafe yang berada di ujung kotanya. Tempat yang sebenarnya membuat Hongjoong berpikir apakah ada yang datang ke tempat itu. Dia bekerja bersama lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya yang bernama Seonghwa. Katanya dia tidak suka pahit dan menurutnya adalah anomali karena kopi pastilah rasanya pahit.
Namun, dugaan Hongjoong bahwa tempatnya bekerja tidak akan menarik pelanggan ternyata salah besar. Karena tempat mereka meski seperti di ujung peradaban, tetapi dekat dengan dua universitas besar milik pemerintah. Jadilah dari jam 11 siang sampai hampir tengah malam, tempat mereka selalu ramai. Membuat Hongjoong awalnya kewalahan dan juga karena sebal dengan orang-orang yang hanya membeli 1 kopi, tetapi memonopoli meja kafe hingga jam tutup demi wifi gratis.
"Yah, kita enggak bisa memaksa orang-orang untuk bersikap seperti yang kita inginkan," Seonghwa menjawab omelan Hongjoong saat sedang membersihkan gelas-gelas yang digunakan saat jam tutup kafe, "dunia tidak bekerja seperti yang kita inginkan, Hongjoong."
"Tapi gue bete banget sama manusia oportunis!" Hongjoong sengaja mengetuk portafilter¹ ke knockbox² lebih kencang dari seharusnya. "Beli satu gelas, lalu monopoli meja dan ninggalin sampah banyak banget. Mana abu rokoknya bertebaran dimana-mana pula!"
"Meski kamu marah-marah, itu tidak mengubah fakta kalau dia memberikan uangnya untuk berada di sini."
"Gue kalo suatu saat nanti punya kedai kopi sendiri, gue pastiin manusia-manusia oportunis itu kena charge karena menggunakan wifi gak ngotak."
"Semoga berhasil dan jangan lupa undang aku di peresmian kedai kopimu ya, Hongjoong."
Lalu Hongjoong tersadar, hari ini adalah percakapan terpanjangnya bersama Seonghwa. Lelaki itu biasanya hanya menjawab satu kata jika dimintai tolong (ya, oke, makasih dan sesekali mengatakan tidak sembari menunjukkan apa yang tengah dikerjakannya). Rasa-rasanya grup pesan yang dibuat oleh pemilik kedai kopi tempat mereka bekerja hanyalah berisi pesan yang sama setiap hari, berapa pendapatan kafe hari ini dan apa ada barang yang habis di kafe? Itu yang biasanya yang menjawab adalah Hongjoong karena Seonghwa selalu merespon keesokan paginya dengan alasan saat pulang dia lanjut belajar dan mematikan HP-nya.
"Seonghwa," panggilan itu membuat lelaki yang baru selesai mencuci semua gelas, menatapnya, "gue baru kepikiran, lo apa enggak capek abis dari sini langsung belajar?"
"Enggak. Kenapa?"
"Lo kuliah online ya?"
"Enggak," jawaban itu membuat Hongjoong mengkernyit, "aku gap year. Bosan belajar hal-hal baru, jadi aku ambil break setahun."
"Tapi lo bilang belajar kalo di grup gak muncul?"
"Cuma mengulas beberapa hal untuk kembaranku," Seonghwa tersenyum, "dia kuliah kedokteran dan seringkali merengek kepadaku kenapa tidak masuk bersama agar bisa mencontek padaku."
"Memangnya kamu mau jadi dokter?"
"Enggak," jawaban Seonghwa membuat Hongjoong berpikir kalau kata itu paling banyak didengarnya hari ini, "aku mau masuk manajemen bisnis. Mau buka bisnis setelah kuliah dan males aja kalau ambil kedokteran."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak mau membuang masa mudaku untuk terus belajar dan dimarahi oleh orang yang disebut senior." Seonghwa hanya tersenyum. "Kakakku sudah mengalaminya dan kulihat beberapa kali dia sampai dirawat karena kelelahan. Yah, meski pilihanku membuat ayah dan ibuku marah karena tidak mengikuti jejak turun-temurun di keluarga."
Hongjoong terdiam karena merasa perkataan Seonghwa ada benarnya juga. Meski Hongjoong tidak menyangka kalau Seonghwa yang dalam hati sering dia anggap hanya modal tampang berada di kafe tempat mereka bekerja agar menarik konsumen perempuan untuk menukarkan uangnya dengan kopi-kopi yang baginya tidak rasa kopi.
"Pendapatku tadi hanyalah pendapat pribadi," tiba-tiba saja suara Seonghwa terdengar yang membuat Hongjoong memandangnya dengan heran, "aku tidak bermaksud bilang pekerjaan menjadi dokter itu membuat seseorang tidak merasakan masa mudanya, tetapi aku hanya merasa tidak mau melewati masa mudaku dengan terus menerus belajar."
"Kenapa harus mengoreksi pendapatmu?"
"...kebiasaan?" Seonghwa mengatakannya dengan tidak yakin. "Orang-orang sering salah paham dengan perkaanku, sehingga aku harus mengatakan penjelasan lanjutan agar tidak menyakiti hati."
"Lo terlalu menjaga perasaan orang lain."
Seonghwa hanya tersenyum sebagai jawaban dan jam setengah satu malam, Hongjoong serta Seonghwa berpisah. Hongjoong dengan motor matic-nya dan Seonghwa dengan mobil Jazz berwarna hitam yang seringkali membuat dirinya berpikir uang gaji mereka di kafe tidak sampai UMK itu bisa-bisa hanya habis untuk membeli bensin mobil. Namun, Hongjoong harusnya mengerti kalau dari cerita Seonghwa yang keluarganya adalah dokter, uang bukan masalah baginya.
Lalu, alasannya menjadi barista di ujung kota ini untuk apa?
[1] Portafilter: Alat untuk mengekstrak bubuk kopi level fine ground menjadi espresso. Portafilter sendiri terdiri dari:
a. Handle portafilter, pegangan yang mempermudah barista saat persiapan baik memasukkan bubuk kopi mau pun saat tamping ground coffee (memberikan tekanan tertentu pada bubuk kopi agar menjadi padat).
b. Filter basket, wadah bubuk kopi yang sebelum di ekstrasi dan tamping (memberikan tekanan tertentu agar bubuk kopi menjadi padat). Ada dua jenis filter basket di pasaran, single shot filter basket untuk membuat one shot espresso dan double shot filter basket untuk double shot espresso.
c. Spout, titik akhir tempat mengalirnya air yang bercampur dengan bubuk kopi yang telah ditekan pada filter basket untuk menghasilkan espresso. Ada dua jenis spout yang umum digunakan, satu lubang aliran dan dua lubang aliran.[2] Knockbox: Tempat ampas kopi setelah di ekstrak oleh porfafilter. Biasanya ada bagian yang melintang di tengah tempat yang digunakan untuk mengetuk filter basket agar ampas kopi terjatuh ke dalam knockbox sebelum dibersihkan menggunakan air mengalir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Potiori Coffee | ATEEZ
FanfictionSelamat datang di Potiori Coffee! Di sini kami menyediakan banyak jenis kopi dengan berbagai metode penyeduhan. Kalau tidak mau pusing dengan semua itu, kalian bisa juga sekalian cuci mata dengan pemandangan para pekerjanya yang tampan. Namun, awas...