(14) Kode

495 22 3
                                    

Aku menyelesaikan menulis kalimat terakhirku dan menutup buku. Adit dan Ziana sudah terlebih dahulu pergi ke kantin.

Aku berjalan seorang diri di koridor. Tatapan orang-orang sudah tidak seperti kemarin. Tatapan mereka saat ini melembut.

"Key! Key!" Teriak seseorang di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Raldo sedang terengah mengejarku.

"Ada apa?"

"Adit sama Adin berantem di lapangan belakang."

Mendengar itu dengan cepat aku langsung berlari ke lapangan belakang. Disana sudah ramai dengan anak satu sekolah.

Duh kalo ketauan guru bisa ribet.

Aku memasuki kerumunan. Dan mendapati Adit yang bersiap meninju Adin. Namun dengan cepat aku berada ditengahnya. Sambil memejamkan mata untuk menunggu tinjuan Adit. Tapi sampai beberapa menit aku tidak merasakan apapun.

Aku membuka mataku dan mendapati Adit yang sedang menahan tinjunya. Aku membalikkan badanku dan disana ada Adin yang sudah lunglai dengan wajah yang banyak darah.

Aku memegang tubuh Adin. Lalu menatap tajam Adit yang sudah dipeluk Sara. Tatapan Adit masih marah, namun juga ada kekecewaan.

"Lo ga pantes kayak gini Dit! Lo sama aja kayak Sara! Psikopat!" Ucapku tajam sambil membawa Adin keluar kerumunan.

"Lo salah paham."

Ucapan itu terdengar lirih dari Adit. Tapi aku pura-pura tidak mendengarnya. Dan membiarkannya.

Aku membawa Adin ke UKS, mengobati luka lebamnya. Terkadang Adin sedikit meringis karena ulahku yang tak hati-hati.

"Makasih." Ucap Adin ketika aku membereskan obat. Aku mengangguk.

"Lo kenapa berantem?" Tanyaku.

Tapi Adin malah berdiri dan bersiap untuk melangkah. "Kalo gara-gara lo gimana?" Ucapnya sambil meninggalkan UKS.

Entah aku harus senang atau sedih mendengar jawaban Adin. Jika senang, ya aku senang. Sangat senang. Tapi suatu perasaan mengatakan sebaliknya.

***

Aku membereskan alat tulisku. Dan bersiap untuk pulang. Namun pergerakanku tertahan oleh Adit yang sudah duduk di sebelahku.

"Lo salah paham Key." Ucap Adit. Aku diam membiarkannya. Adit meraih lenganku. Namun segera ku tepis.

"Dia yang mulai duluan. Dia yang mancing gue."

"Tapi lo yang ngehajar dia sampe lebam gitu. Oke masalah selesai. Bye." Ucapku cuek lalu pergi meninggalkannya.

Namun pergerakanku terhenti oleh Adit yang menarik lenganku.

"Kalo di situ gue yang lebih lebam, apa lo mau nolongin gue dan bilang Adin itu psikopat?"

Aku menatap sinis ke arah Adin dan menepis tangannya. Aku pergi meninggalkan Adit dengan beribu gerutuan di hatiku.

Aku keluar kelas dan melewati keridor yang mulai sepi ini. Tiba-tiba sebuah tangan menarikku dan membawaku ke toilet.

Tasku diambil oleh salah satu orang yang menyeretku. Lalu aku di lemparkan pada dinding toilet.

Sara.

Salah satu perempuan lain membawa satu ember air. Sara mendekat ke arahku lalu menarik daguku.

"Apasih lebihnya lo? Cantik, engga. Eksis, engga." Sara memegang erat daguku.

"Gue bingung kenapa mereka berdua lebih milih babak belur cuma buat berebut lo? Oh stupid boy."

Sara mengambil satu gayung air dari ember tadi. Lalu mengangkatnya di atas kepalaku.

Hidden LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang