(20) Kenyataan

525 26 6
                                    

Aku berjalan sambil menarik koperku. Tinggal hitungan menit untukku berada di negara ini. Aku berjalan sambil menunduk. Banyak penyesalan yang ku tinggalkan disini. Entah itu pada Adin, Sara, Ziana, ataupun Adit. Masing-masing dari mereka pasti ada hal yang ku sesali.

Aku terus berjalan dengan kepala tertunduk. Sampai pada akhirnya langkahku terhenti karena seseorang di depanku. Aku mendongakkan kepalaku. Didepanku sudah ada Adit yang tersenyum ke arahku.

Air mataku semakin membanjir melihat senyuman Adit. "Ga lucu Dit. Lo ga bakal bisa nahan gue."

Adit mengambil kedua tanganku. "Gue nyusul lo kesini bukan karena mau nahan lo. Gue kesini mau jelasin semuanya. Semua tentang gue."

"Dari waktu itu sampai detik ini, hati gue ga pernah bergeser. Walau dengan Sara yang diri di sebelah gue, nyatanya lo yang selalu gue peluk."

Adit menarik nafas lalu membuangnya kembali. "Gue ga janji bisa mencintai Sara seperti gue mencintai lo. Karena lo yang ada di hati gue. Cuma lo."

Ditengah tangisanku aku tersenyum mendengar kalimat terkahir Adit. Adit mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya.

Adit memakaikan sebuah kalung di leherku. Kalung yang berbeda dari kalung yang kemarin.

"Terus di pake ya kalung ini. Gue juga pake." Adit menunjukkan sebuah kalung berliontin cincin di lehernya.

"Ini kalung bunda sama ayah. Mereka tadi maksa gue buat ngasih kalung ini. Cerita mereka hampir sama kayak kita. Dan dengan kalung ini mereka bisa bersatu sampai sekarang."

Adit menatapku dalam. "Semoga kita juga bisa kayak mereka."

Aku mengangguk sambil menghapus air mataku. Ku peluk Adit dengan erat, begitupun ia.

"Jangan lupain gue." Bisik Adit.

Aku mengangguk. "Lo juga."

***

5 Tahun Kemudian...

Aku berjalan melewati trotoar kota yang sudah lama aku tinggalkan. Jakarta. Kota yang memiliki banyak kenangan untukku.

Tentang keluarga, sahabat, dan juga cinta. Aku menelusupkan kedua tanganku pada saku sweater tebalku. Udara mendung dan angin sore membuatku ingin segera berlari sampai rumah.

Jika saja ada taxi atau angkutan umum, pasti aku tidak usah berjalan dengan heels ku. Salahku sih. Setelah pemotretan, aku diajak untuk pulang bersama Rian--fotograferku--. Tapi aku menolaknya. Dengan alasan aku kangen sama Jakarta.

Drrrtt...drrtt...

Aku mengambil tas selempang yang melekat di bahu kiriku. Mencari keberadaan benda kotak kecil itu sambil berjalan.

Bruk.

Aku terjatuh bersama handphone-ku yang sudah ada di genggamanku. Dan akhirnya handphone kesayanganku pun harus mati  dengan mudahnya.

Kejadian ini membuat ku teringat dengan kejadian itu. Saat Adit menabrakku dan aku memarahinya lalu memintanya memperbaiki handphone-ku. Ah kenangan itu.

Aku bangun dari posisi terjatuhku. Menepuk rokku yang sedikit kotor. "Maaf." Ucapku sambil membungkuk. Aku masih terbiasa dengan suasana Korea.

Pria yang bertabrakan denganku masih sibuk memunguti berbagai lembar undangan yang lucu. Aku berjongkok dan membantunya.

Ku ambil salah satu undangan tersebut. Dan terpaku melihat nama yang tertera. Cairan bening itu kembali turun setelah sekian lama tidak turun karena orang bernama itu.

Hidden LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang