Athanasia duduk diam dengan posisi yang tidak nyaman. Curahan hati Jannete terdengar ditelinganya seperti aliran air.
Sedikit banyak dia dapat merasakan apa yang Jannete rasakan. Namun, Athanasia sanksi bahwa Jannete mengerti apa yang dia rasakan. Dia sudah mengalami apa yang Jannete rasakan lebih dari separuh hidupnya. Sedangkan Jannete, mungkin belum lama ini...
"Kau pikir kau siapa? Gadis bodoh."
Suara Claude yang dingin melewati gendang telinganya. Athanasia menghentikan gerak tangannya pada pena buku hitam dengan logo obelia dibagian tengah.
Walaupun kata-kata itu tidak diucapkan untuknya. Namun Athanasia merasa kalimat itu juga terucap untuknya.
"Papa, apa kenapa kau perlakukan aku seperti ini?" Suara Jannete yang penuh dengan rasa putus asa kembali terdengar.
Melihat Jannete saat ini, Athanasia seperti bercemin pada dirinya dahulu.
Dia juga memohon. Merintih. Berharap mendapat keajaiban bahwa ayahnya akan melihatnya dengan lembut. Memperlakukannya kayaknya dia memperlakukan Jannete.
Athanasia tidak tahu apa salahnya. Dia juga tidak mengerti mengapa dirinya diperlakukan seperti itu.
Dia tidak mengerti alasan mengapa dia dibenci.
"Pergi dari hadapanku!"
"Papa... Kenapa... Apa salahku..."
Apa salahku?
Athanasia menundukkan kepalanya. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan saat ini. Apa dia harus bicara pada Claude? Ataukah lebih baik diam seakan tidak terjadi apa-apa?
Dia tidak memiliki keberanian untuk berbicara pada Claude.
Athanasia sadar, berbicara untuk dirinya sendiri saja dia tidak bisa. Apalagi untuk orang lain.
Dulu, ketika Jannete berbicara atas namanya, Claude tidak pernah menanggapi ucapannya. Padahal, Claude sangat menyayangi putrinya itu.
Bagaimana dengan dia?
"Felix!"
"Papa!"
Setelah mendengar suara Claude yang memanggipnya, Felix membuka pintu ruangan dengan perlahan. Irisnya menatap suasana tidak mengenakan yang terjadi di dalam.
Bukannya Felix tidak mengerti, dia cukup menyadari apa yang terjadi di dalam ruangan karena dia dapat mendengar samar-samar suara tangisan Jannete dari luar. Dia juga dapat mendengar bentakan Claude untuk putrinya itu.
Ditatapnya Jannete yang menangis seraya menundukkan kepala. Isakan kecil terdengar menyesakkan dada. Walaupun tidak terlalu dekat, Felix sudah mengenal Jannete sejak gadis itu memasuki istana setelah debutante gadis bangsawan Obelia.
Mengingat antara Claude dan Jannete pernah sedekat nadi, dan tiba-tiba mereka berjauhan. Felix merasa bersimpati. Pasti ini menjadi pukulan yang menyakitkan untuknya. Padahal gadis itu pernah diperlakukan selayaknya putri dari negri dongeng.
"Bawa gadis Margrita keluar!"
"Papa!"
"Sekarang! Felix!"
Felix terdiam.
Bingung harus bagaimana menyikapi kondisi seperti ini. Disatu sisi dia kasihan pada Jannete, disisi lain yang menyuruhnya adalah junjungannya sendiri.
Irisnya menatap Athanasia yang duduk diam menatap kertas dihadapannya. Tangannya bergerak mengerjakan tugas muliknya. Felix tidak mengerti ekspresi apa yang dimiliki Athanasia. Tapi sepertinya dia merasa serbasalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
IF [Suddenly, I Became A Princess]
FanfictionBerlatar belakang setelah side story 'Lovely Princess World' . . . Karakter punya Plutos/spoon Media bukan punta gue FANFICTION