9. Love Me Please!

4.8K 527 121
                                    

Athanasia duduk di dalam ruangan di Istana Ruby dengan tenang. Ruangan yang sebelumnya tidak digunakan, kini berubah menjadi ruang belajarnya.

Semua pelayan di istana Ruby diganti keesokan harinya setelah dia berbicara pada Claude. Dia sedikit terkejut, tidak menyangka bahwa sang Raja akan mengabulkan permintaannya begitu cepat.

Athanasia tidak tahu bagaimana nasib pelayan itu. Apakah dia diberhentikan atau dipindah ke tempat lain, dia tidak peduli. Mereka juga menjadi alasan mengapa masa kecilnya tidak menyenangkan. Tekanan dari semua orang, membuatnya rendah diri sendiri.

Tatapannya mengelilingi bagian dalam ruangan, menatap satu persatu barang-barang diruangannya yang sebagian besar aksesorisnya telah dirampas oleh tangan tak bertanggung jawab. Untungnya, setelah para pelayan itu pergi, kejadian yang sama tidak akan terulang kembali.

Makanannya dalam beberapa hari ini berganti. Athanasia selalu makan enak setiap hari, tidak lupa dessert pudding atau kue coklat yang menjadi favoritnya terlilat disetiap hidangannya. Biasanya dia akan makan coklat setiap beberapa hari sekali, namun kini setiap hari ada.

Lilian mengatakan bahwa Claude memberikan wewenang penuh untuk mengatur keuangan Istana Ruby. Itu artinya, Lilian menjadi kepala pelayan diistananya sendiri.

Athanasia bersyukur untuk itu.

Lilian tidak perlu bekerja banting tulang untuk tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang lain.

"Princess... Jangan terlalu bekerja keras. Sekali-kali bersenang-senanglah." Sebuah suara mengalun setelah suara ketukan terdengar dari luar pintu.

Athanasia tersenyum melihat Lilian masuk ke dalam ruangannya membawa satu set perlengkapan minum teh.

Setelah mendapat istirahat penuh, putri keturunan bangsawan York itu terlihat lebih hidup dan bersemangat. Itu karena Lilian memiliki cukup tidur setelah pergantian pelayan, tidak seperti dulu yang dipaksa bekerja malam hari oleh kepala pelayan terdahulu.

"Aku tidak bekerja keras Lili."

Hari ini dia kembali dari ruang kerja Claude, tempat dimana dia bekerja sebelumnya. Menggantikan Claude yang absen karena sakit.

Claude sudah mulai mengambil alih pekerjaan yang biasanya ditangani oleh Athanasia. Dia juga sudah melakukan pertemuan dengan para petinggi kerajaan, membahas hal-hal selama dirinya absen.

Tadi, Claude mengatakan bahwa dia akan bekerja dengannya di dalam ruangan yang sama.

Athanasia keberatan. Tentu saja.

Namun dia tidak bisa menolak karena memang pekerjaan yang dia kerajaan berhubungan dengan tugas Raja. Felix juga mengatakan bahwa akan lebih mudah untuk memantau. Dan Athanasia tidak mau merepotkan orang lain.

Tidak ada pilihan lain, Athanasia menerimanya.

***

"Princess Jannete meminta pertemuan Yang Mulia," Suara Felix dari depan pintu ruang kerja Raja mengudara.

Claude, yang kini sibuk dengan kertas-kertas dihadapannya menghentikan gerakan pada pena bulu ditangannya. Keningnya berkerut kala kembali mendengar pengumuman yang sama berulang-ulang.

Apakah anak angkat Alphaeus itu tidak mengerti apa yang dikatakannya kemarin?

Tatapannya terarah pada meja Athanasia yang berada di dalam ruangan sebelah kanan. Claude memang meminta Felix untuk menyiapkan meja dan kursi di dalam. Dia ingin menyatukan ruang kerja miliknya dan Athanasia.

Ini hari ketiga Athanasia kerja di dalam ruangan yang sama dengannya. Selama itu pula gadis itu tidak pernah berbicara jika tidak berhubungan dengan tugas miliknya. Padahal Claude harap hubungannya dengan Athanasia dapat berjalan sebagaimana mestinya. Selayaknya ayah dan anak perempuan pada umumnya.

Claude menghela napas.

Menyatukan pecahan kaca tidak semudah mengelemnya. Retakan demi retakan pasti akan terlihat nyata. Claude menyadari itu dengan jelas. Athanasia tidak akan mungkin semudah itu memaafkannya. Bukan sekali dua kali dia memperlakukan gadis itu dengan buruk, hampir setiap dia bertemu dengannya.

"Yang Mulia?" Suara Felix terdengar lagi.

Claude menatap ke arah pintu tidak suka, "Katakan, tidak perlu menemuiku." suaranya dingin menusuk hati.

Tatapannya kembali pada Athanasia yang kini sibuk menulis sesuatu di atas kertas. Gadis itu sama sekali tidak terganggu dengan apa yang terjadi di dalam ruangan. Sikapnya menunjukkan ketidakpedulian. Claude tersenyum miris, kembali menyibukkan diri pada pekerjaannya.

Tidak lama setelah Claude mengatakan kalimatnya, pintu ruangan itu terbuka. Jannete yang diminta untuk tidak menemuinya, terlihat dengan dress orange dan putih dengan tiara indah di atas kepalanya. Sepatu kaca bewarna senada meninggalkan suara jejak di lantai marmer yang indah.

Claude yang merasa terganggu menaikkan kepalanya, menatap Jannete dengan pandangan tidak suka. Tatapan yang sama seperti yang pernah dilayangkannya pada Athanasia dulu.

Jannete yang menerima tatapan seperti itu tidak dapat menahan perasaan teriris dihatinya. Walaupun dia sudah berkali-kali melihatnya, tetap saja ini menyakitkan. Jannete pernah diperlakukan sangat berharga oleh laki-laki dihadapannya. Dijaga sepenuh jiwa, bahkan lebih berarti dari nyawa Claude sendiri.

Setelah Jannete menghabiskan banyak air mata menunggu Claude pulih, laki-laki itu tidak berniat untuk melihat pengorbanannya. Dia mendorongnya menjauh, memperlakukannya seperti sampah yang keberadaannya tidak lagi dibutuhkan. Kebersamaan yang selama ini terjalin, menguap begitu saja. Seolah tidak pernah ada sejak awal.

Jannete marah, dia kecewa.

Tapi dia tidak tahu harus bagaimana.

Perkataan pamannya yang memintanya untuk tidak melakukan hal-hal bodoh terus menghantuinya. Walaupun Countess Rosaria terus berada disampingnya, menghiburnya, tapi itu semua tidak cukup untuk Jannete.

Jannete ingin segalanya kembali seperti dulu. Ketempat sebagaimana mestinya.

"Kenapa papa terus memperlakukanku seperti ini?!" nada suara penuh putus asa terucap dari bibirnya yang bergetar.

Jannete sekuat tenaga menahan isak tangisnya. Bibirnya perih karena berkali-kali Jannete menggigitnya. Matanya berkaca-kaca menatap lurus pada seseorang dihadapannya. Jarak antara dirinya dan ayahnya sangat dekat, hanya terhalang oleh meja kerja. Bahkan Jannete masih dapat melihat laki-laki itu dengan sangat jelas. Namun mengapa rasanya sulit tergapai?

"Apa salahku? apa salahku papa? katakan padaku apa yang salah denganku. Apa yang tidak kau suka dariku? aku akan berubah untuk papa."

Tangannya mengepal disisi tubuhnya. Air mata mengalir dipipinya, tidak kuat lagi menahan. Tubuhnya yang kecil bergetar karena emosi dihatinya yang sudah menggunung. Wajah cantiknya kini memerah, matanya sedikit sembab karena terlalu sering menangis.

Sayangnya, penampilannya tidak berpegaruh pada seorang dihadapannya yang masih menatapnya dingin. Tatapannya masih tajam, sama seperti hari-hari sebelumnya ketika Jannete mencoba untuk menemui Claude dengan berbagai macam cara.

Tatapan itu, seharusnya bukan untuknya!

Setiap hari, Jannete selalu menunggu di Istana Garnett untuk menemui Claude. Terkadang dia akan menghadang jalan Claude, atau menunggu di depan ruang kerja. Tapi laki-laki itu tidak pernah menganggap keberadaannya.

Apa lagi yang harus Jannete lakukan?

Dia tidak pernah meminta apapun. Sedikitpun, dia tidak pernah mengincar posisi sebagai putri mahkota. Jika bisa, Jannete rela menyerahkan posisi itu untuk Athanasia. Menjadikan adiknya sebagai empress masa depan.

Permintaannya cukup sederhana, dia hanya ingin ayahnya menyayanginya seperti dulu. Menghabiskan waktu bersama antara dia dan Claude di taman bunga.

"Aku janji akan menjadi seperti apa yang papa harapkan."

Suaranya lirih, menyebar di dalam ruangan yang cukup lenggang.

Sayangnya, Claude memilih untuk tidak mendengar.

.

.

.

TBC

Yang kemaren ngga ada isinya gaes, ngga kesimpen. Makannya diapus-_-

IF [Suddenly, I Became A Princess]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang