EMPAT

7 1 0
                                    

Di malam itu, Hawa baru saja pulang kerja. Saat memasuki rumah masih seperti biasanya, setelah mandi dan makan. Hawa menonton televisi bersama sang ibu.

Hawa menatap malas film saluran tv ikan terbang itu, lalu menatap ibunya yang terlihat antusias menonton.

'Hanya bisa mengatakan apa yang kurasaa'

Gadis itu berdecak melihat drama yang sangat klise di sana. Menurutnya lebay sekali dan alurnya gampang di tebak . Hawa lebih suka film luar.

'Ku menangis membayangkan betapa kejamnya dirimu atas diriku'

"Film ginian mulu buk."

Tia menoleh. "Film ini tuh banyak hikmahnya loh."

Hawa mengangguk saja lalu tiduran menatap adiknya yang bermain ponsel.

Ponsel yah.

Hawa merenung, ponselnya sudah ia jual saat hari raya tahun itu. Karena kebutuhan keluarganya sangat menipis dan tidak cukup untuk dibuat lebaran, demi ibunya dan adiknya bisa ikut lebaran dengan biasanya. Hawa rela menjual ponsel kesayangannya yang masih bagus itu.

Sempat di tahan ibunya, tapi demi membuat ibunya bahagia. Hawa akan melakukannya.

Dan kini sudah hampir lima bulan ia tidak memegang ponsel, tak apa. Kalau ada info lewat ponsel ibunya yang sering di pakai adiknya saja.

Tak lama dari arah luar ada seseorang memanggil dan membuat Tia beranjak mendekati pintu.

Hawa melihat dari ruang televisi ada seorang tetangga depan rumah, lalu ibunya kembali dan ternyata menuju kamarnya sendiri.

Tak lama juga ayah Hawa keluar dari sana dan mendekati orang tersebut. Yang di tau Hawa, tetangga tadi mengajak ayahnya untuk kerja ke sebuah pabrik, tapi di tolak ayahnya.

Alhasil malam itu, ibunya menasehati ayahnya, alangkah baikknya jika menerima. Gaji besar maupun kecil dapat di terima ibunya.

Tapi, malam itu ayahnya sama sekali tidak bisa diberi tahu. Waktu hendak tidur, Hawa di dalam kamar mendengar pertengkaran kedua orang tuanya.

Hawa sudah siaga akan kesana jika sudah diluar batas. Sampai suara pukulan terdengar membuat Hawa langsung kesana dengan emosi yang tidak bisa ia kendalikan lagi.

Apalagi melihat ternyata ibunyalah yang di tendang membuat Hawa marah besar. Kedatangan Hawa membuat keduanya terdiam, apalagi tatapan tajam penuh kebencian Hawa tunjukkan ke ayahnya.

"Sekali saja nggak pake kekerasan bisa nggak sih?" Tanya Hawa dingin.

Tia berdiri  berusaha menuntun anaknya keluar tapi Hawa menolak masih menatap benci ayahnya.

"Kalau sekali lagi aku mendapati kau menyakiti ibukku, kau sudah tau apa yang akan terjadi."

Ayahnya hanya diam tak berani menatap.

"Sudah nak, ayo kita ke kamar kamu saja."

Napas Hawa naik turun lalu ia menatap adiknya yang malang melihat keributan orang tua mereka.  Kemudian Hawa mengangguk membawa ibu dan adiknya ke kamarnya.

Sesampai di kamar Hawa hanya diam menatap ibunya yang kini berusaha tegar dengan bercanda sedikit.

"Sudah yah, kita tidur. Besok kan mbak kerja."

Hawa mengangguk. "Bu, lampunya dimatikan yah."

Tia pun mematikan lampu, lalu mereka bertiga tidur dengan adik Hawa yang ada di tengah tengah. Hawa memejamkan mata merasakan elusan di rambutnya.

Dikeadaan gelapnya kamar, Tia tidak dapat melihat setetes air mata jatuh dari mata putrinya. Atau mungkin Hawa juga tidak melihat setetes air mata jatuh dari mata ibunya.

Hawa berusaha untuk membungkam bibirnya dan menahan tangisnya.

Mengingat apa saja yang di terima ibunya selama ia ketahui, membuat hati Hawa sakit dan menyalakan diri sendiri karena masih belum bisa menjaga ibunya dan membuatnya bahagia.

Karena sudah tidak kuat lagi, Hawa pun duduk ia berdehem menetralkan suara.

"Tidur mbak." Ucap Tia.

Hawa tak menoleh. "Ummm, aku keluar sebentar yah bu."

"Kemana?"

"Teras rumah."

"Yasudah, jangan lama-lama yah."

"Iyah bu."

Hawa pun beranjak, melewati meja rias, dia melihat ada cutter kecil yang membuatnya langsung meraihnya dan berlalu keluar.

Tiba di luar rumah, Hawa menatap sekitar memastikan lingkungan sepi, setelah itu Hawa duduk di kursi duduk kayu rotan.

Gadis itu bersandar lemah, kembali menangis mengingat penderitaan ibunya yang menanggung banyak tanggungan dan mengingat ayahnya seorang pengangguran selama dua tahun ini.

Perlahan gadis itu menaruh cuter di lengan kirinya, ia melamun meratapi nasib ibunya dan dengan brutal entah sadar atau tidak dia menorehkan luka di tangannya yang tak bersalah.

Dadanya sesak, ia butuh pelampiasan yang biasanya ia pakai, tapi tidak mungkin ia gunakan di rumah.

Hawa merasakan dada yang sesak membuatnya tak bisa merasakan perih di tangannya yang kini telah penuh sayatan dan darah kental yang keluar.

Hawa menunduk menangis melihat tangannya berdarah, dia benci darah. Tapi keadaan membuatnya menciptakan darah itu sendiri ada. Gadis itu terpejam menikmati sakit yang perlahan terasa.

Bahu Hawa melemas Kala dadanya sudah tidak terasa sesak kembali, tangannya perih sekali ia rasakan.

Tak lama Hawa terpejam, gadis itu membuka matanya menatap sembab langit diatas sana dengan banyaknya bintang.

Ibunya adalah bintangnya.

Hawa tersenyum, setelah merasa lebih baik, gadis itu pun akhirnya masuk ke rumah setelah membersihkan darah dan memakai baju lengan panjang.

Hawa kembali ke kamar dana mendapati ibunya dan adiknya sudah tertidur pulas.

Berat Mengikhlaskan (CERPEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang