TIGA

8 1 0
                                    

Usai kelulusan, Sempat beberapa bulan Hawa menganggur di rumah. Niat hati ingin bekerja, sudah menaruh surat lamaran pekerjaan di manapun berada. Namun sampai sekarang tidak ada panggilan.

Melihat keuangan keluarganya yang menurun karena tidak ada yang bekerja, ayahnya saja pengangguran.

Pemasukan dari mana?!

Hawa memutuskan mengajak ibunya berjualan jajanan gorengan yang sedang di gandrungi anak-anak kecil, apalagi dirumahnya sering menjadi tempat main teman-teman adiknya.

Maka mereka memutuskan membuka warung kecil dan lumayan untuk menjadi pemasukan keuangan keluarga yang hanya di tanggung ibunya itu.

Di setiap harinya kadang kala sakit kepala ibunya kambuh membuatnya sendirian berjualan di rumah, dan menyuruh ibunya istirahat.

Hawa yang sudah lama mengetahui kalau ibunya memiliki sakit darah tinggi yang sering naik dan ngedrop itu, menjaga ibunya sepenuh hati.

Setelah beberapa bulan berjualan, Tia memutuskan menyudahi karena sudah tidak kuat lagi. Darahnya sering naik karena kepikiran beban tanggungan keluarga.

Hawa pun menjadi bingung dan giat mencari kerja kesana kemari, namun hasilnya tetap sama.

Sementara ayahnya yang sedang labil, kadang bekerja kadang tidak. Membuat Hawa dan Tia menjadi kepikiran dan stress. Apalagi ayahnya yang orang pemilih mengenai pekerjaan dan tidak bisa diatur oleh ibunya, membuat Hawa semakin membencinya.

Bisanya hanya tidur makan dan main saja, tidak ada sedikitpun pemikiran untuk membantu istrinya setidaknya membantu mencari uang untuk membayar hutan yang setiap hari semakin menumpuk itu.

Melihat ibunya yang sedih memikirkan nasib mereka. Hawa nekat menerima pekerjaan manapun meski ia dulu tidak menginginkannya.

Sampai seorang tetangga mengusulkannya agar kerja di sebuah pabrik produksi perikanan, udang.

Sebenarnya Hawa anti yang namanya amis ikan, namun demi ibu dan adiknya ia terima dan bisa langsung masuk kerja.

Hawa bahagia melihat betapa leganya ibunya melihatnya bekerja, di setiap pulang kerja Hawa membelikan makanan untuk mereka, keluarganya.

Meski hanya bekerja di sebuah pabrik produksi, namun Bagi Hawa itu sudah cukup untuk membantu perekonomian keluarganya yang dua tahun ini telah berubah hampir 100 persen.

Di setiap harinya pulang kerja, ada saja pengalaman yang di ceritakan Hawa kepada ibunya.

Seperti sore itu, Hawa telah tiba dirumah dengan sepeda motor matic varionya. Ia melihat ibunya menunggu di depan rumah dan mengobrol bersama tetangga.

Setelah memarkirkan motor di samping rumah, Hawa tidak langsung masuk rumah. Namun ia malah mendekati sang ibu sambil menenteng tas plastik berisi makanan kesukaan ibunya.

Martabak manis dan bakso.

"Kok baru pulang mbak?" Begitu tanya ibunya.

Mungkin biasanya Hawa pulang agak cepat namun hari ini di perlambat karena ada sebuah urusan mengenai id-cardnya.

Hawa duduk di samping sang ibu. "Iyah buk, tadi ngurus id-card dulu."

Tia mengangguk lalu berdiri. "Ayo masuk, makan dulu."

Hawa mengangguk lalu masuk rumah membiarkan ibunya berbincang sebentar dengan tetangga yang tak lama pulang juga.

Hawa duduk di sofa panjang sambil menghela napas berat. Ia melihat ibunya mendekat lalu menggeledah tas punggung yang setiap hari ia bawa kerja.

Tia mengambil perlengkapan kerja anaknya yg kotor lalu membawanya ke dalam untuk di cuci. Sambil berlalu Tia berkata.

"Mbak mandi dulu lalu makan."

"Iyah buk." Jawab Hawa malas, lali gadis itu berdiri melakukan yg di suruh ibunya.

Setiap harinya memang seperti itu, hawa cukup lega melihat ibunya yang tidak lagi seperti terlihat banyak pikiran, atau memang Hawa saja yang tidak peka dan ibunya yang pintar menyembunyikan nya.

Berat Mengikhlaskan (CERPEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang