Bada dzhuhur, 20 September 2020. Rs, soegiri Lamongan.
Di sebuah ruangan dengan empat buah bangkar dan gorden sebagai pemisah. Ada juga beberapa orang di dalam sana.
Mereka menyaksikan dan mendengar tangisan pilu dari seorang gadis yang bahkan tidak bisa merasakan raganya lagi, terduduk di lantai meremas kaki bangkar yang di tidurin ibunya.
"Ibu, Ya allah ibu!! Hiks."
Para sanak yang menjadi saksi kejadian tak terduga itu ikut menangis tak tega melihat keterpuruan gadis yang bahkan jarang sekali menangis itu.
Jilbab maroon gadis itu bahkan sudah tak rapi lagi menutupi kepalanya. Gadis itu menangis tanpa henti berkali kali memanggil ibunya agar bangun kembali, meski itu akan sia sia.
"Nak-"
"AAARGGGGHHHHH, JANGAN SENTUH. Hiks, ibu!!!."
Bahkan ayahnya saja tak bisa mendekatinya. Pria itu hanya meneteskan air matanya melihat pertama kalinya putrinya menangis seperti itu. Hatinya tersayat sayat mendengarnya.
Hawa merangkak berpegangan bangkar ibunya lalu tangisnya semakin menjadi melihat dibalik selimut rumah sakit itu ibunya memejamkan mata untuk selamanya.
Gadis itu memeluk ibunya erat, merasakan badan yang selalu hangat itu sekarang menjadi dingin. Tangis Hawa tak kunjung berhenti memukul mukul pinggir bangkar.
Nala, sanak Hawa yang menjadi saksi kejadian itu mendekat memeluknya. Hawa tak memperdulikan, Gadis itu masih memeluk ibunya erat sambil meracau dan menangis.
"Nak, Hawa. Maafin mbak yah, hiks. Mbak juga nggak nyangka ini bakal terjadi."
Hawa menangis membenamkan wajahnya di perut ibunya. Menangis dengan suara lirih lalu kemudian berteriak kesetanan membuat beberapa keluarganya yang ijut disana segera menenangkan.
"AAARGGGHH BANGSAT!!! HIKS, IBUUUU AAARGGG."
Gadis itu bahkan memukulkan kepalanya ke dinding di sana membuat keluarganya segera menahannya.
"Hawa, tenang nak. Tenang!" Seru Omnya memeluk dari belakang.
Sedangkan dari depan ayahnya memeluknya, Hawa masih meronta ronta dan mengumpat tanpa henti membuat ayahnya segera membungkam mulutnya.
"HAWA! GAK BAIK BERKATA SEPERTI ITU DI DEPAN IBU!" bentakan Om-nya mampu membuat Hawa lemas dan jatuh di pelukan mereka.
Badan gadis itu bergetar, tangisnya masih tersisah dengan wajah basah kuyup air matanya sendiri.
"Ibu tega, hiks. Ibu tega." Racaunya.
Ayahnya menangis memeluk putrinya itu. Dan om-nya membiarkan Hawa dan ayahnya menangis disamping ibu Hawa.
"Nggak ada yang mau seperti ini nak. Ini udah takdir. Ikhlasin ibu."
Hawa terlalu lemas untuk melawan matanya masih terpaku melihat wajah ibunya yang tertutup selimut itu.
Tangisnya kembali terdengar dan gadis itu merosot ke lantai memeluk kaki bangkar dengan erat. Dan menjauhkan ayahnya darinya.
"Ibu."
Ingatannya kembali ke beberapa jam yang lalu sebelum ibunya berangkat wisata dan semuanya terjadi.
Ibunya masih sehat, masih tersenyum. Bahkan tanpa mengatakan hal-hal aneh.
Tapi kenapa?!
Kenapa tuhan begitu sayang pada ibunya sampai harus memanggilnya dulu sebelum Hawa membalas setidaknya seperempat budi ibunya.
Dan Hawa semakin menangis penuh rasa bersalah dan penyesalan mengingat dirinya menolak ajakan ibunya saat hendak berangkat dan yang paling membuat Hawa berpikir dia adalah gadis paling bodoh.
Hawa tidak sempat mencium tangan ibunya. Padahal sebelumnya kemanapun ia dan ibunya akan pergi, Hawa selalu melakukan hal itu.
"Hiks, Ibu."
Gadis itu kembali berdiri meski lemas, berpegangan pada bangkar dengan satu tangan. Dan tangan kanannya membuka selimut itu meski di tahan ayahnya yang masih ada di sebelahnya.
Hawa menepis masih membuka sampai mengekuarkan tangan kanan ibunya dan ia genggam sebelum mencium punggung tangan yang terasa sangat dingin itu.
Air mata Hawa jatuh deras di tangan ibunya, telinganya tak mampu mendengar tangisan keluarganya melihat apa yang ia perbuat.
Mata Hawa terpejam erat mengecup dalam tangan ibunya sebelum akhirnya melepaskannya. Gadis itu mengelus rambut ibunya dengan lembut, melihat wajah cantik ibunya dan mata yang indah itu tertutup.
Ibunya telah lelah, dan memilih pergi.
Hawa menangis, memikirkan hari-hari nanti tanpa sang ibu.
Gadis itu mencium kening ibunya lama sebelum melepaskannya dan membiarkan sanak nya menutup kembali selimut itu.
Perlahan Hawa di jauhkan meski dengan pandangan masih menatap dimana ibunya berbaring. Gadis itu mengeluarkan air matanya tanpa ekspresi lalu terkekeh miris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berat Mengikhlaskan (CERPEN)
NonfiksiCERPEN cerita klasik yg menceritakan sepenggal beberapa kejadian yg dialami seorang gadis bersama sang ibu nya. Kejadian-kejadian yg tidak pernah dibayangkan maupun terbayangkan. membuat jiwa si gadis merasa sakit dan tertekan menghadapinya secara...