Suatu hari di awal bulan Februari, cuaca masih terasa cukup dingin menusuk ke dalam tulang, tapi seorang gadis sudah menjejakkan kakinya di ruangan kerjanya di rumah sakit, pagi-pagi buta. Bahkan matahari masih enggan memberi sinarnya padahal jarum pendek jam sudah bergerak di antara angka 6 dan 7.
Minji tiba di rumah sakit jauh lebih awal dari biasanya. Hari ini akan dimulai proyek pengembangan layanan yang akan lebih menitikberatkan pada kesehatan mental. Proyek ini masih bersifat simulasi, untuk mencari tahu minat dan tingkat kewaspadaan masyarakat akan kesehatan mental.
Sudah dari 2 minggu lalu, pihak rumah sakit membuka lowongan bagi sukarelawan dari masyarakat awam maupun dari pihak medis yang terbeban mengenai isu kesehatan mental di Korea.
Ratusan aplikasi masuk setiap harinya, sehingga pihak rumah sakit cukup kewalahan dan memutuskan untuk menutup pendaftaran lebih cepat dari waktu awal yang ditentukan.
Dan Minji sebagai salah satu psikiater yang sudah memiliki cukup pengalaman dan dipercaya oleh pihak rumah sakit karena kinerjanya, mendapat kepercayaan untuk melakukan seleksi dari ratusan aplikasi tersebut.
Minji berhasil mempersempit jumlah aplikasi menjadi 25 sukarelawan medis dan non medis yang akan mulai bekerja hari ini. Jika respon masyarakat cukup baik, tidak menutup kemungkinan jumlah sukarelawan akan ditambah pada waktu berikutnya.
Sebuah panggilan masuk diterima oleh ponsel Minji saat dia sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk hari ini. Tak ada nama yang tertera pada layar ponselnya yang mewakili nomor tersebut.
"Hallo, Kim Minji-imnida."
"Minji-ya, ini Hwayoung. Maaf, menghubungimu pagi-pagi seperti ini. Apa kamu bisa meluangkan waktu untukku?" suara Hwayoung terdengar lemah di ujung telepon.
"Hwayoung? Maaf, aku tidak bisa menjanjikan untuk bisa meluangkan waktu hari ini. Rumah sakitku sedang melaksanakan program kesehatan baru hari ini, jadi aku mungkin akan sangat sibuk. Tapi segera setelah pekerjaanku selesai, aku akan menemuimu. Tolong kirimkan alamatmu ya."
"Ok, maaf, aku sudah merepotkanmu."
"Tidak perlu sungkan. Kita khan berteman." jawab Minji dengan tulus. Meskipun ada sebuah episode terjadi di antara mereka berdua, Minji akan selalu menganggap Hwayoung sebagai temannya. Yang lalu, biarlah berlalu.
* * * * * * *
Minji memulai pertemuan pertama dengan para sukarelawan medis dan non medis di salah satu ruangan di RS. St. Joseph. Program kesehatan ini akan mengirim sukarelawan medis dan non medis ke berbagai tempat seperti sekolah, instansi pemerintah dan juga pusat-pusat lansia di masyarakat.
Mereka akan berada di tempat-tempat yang telah ditentukan selama beberapa waktu untuk mendengar keluh kesah masyarakat yang terkadang membuat mereka berpikir untuk melakukan tindak kejahatan ataupun mengakhiri hidupnya.
Empat orang dalam tim, dua sukarelawan medis dan 2 sukarelawan non medis akan ditugaskan ke tempat-tempat yang telah ditentukan.
Minji sebagai ketua tim, bersama 3 orang lainnya, segera berangkat menuju suatu sekolah menengah atas di dekat rumah sakit. Dua bilik terpisah disediakan di tempat, agar setiap orang yang ingin berkonsultasi tidak merasa khawatir akan privasi mereka. Tim medis yang merupakan spesialis di bidang kejiwaan akan memberi konseling, sedangkan tim non medis akan membantu mencatat beberapa hal dalam form yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit.
Tanpa diduga banyak murid yang tertarik dengan program tersebut. Tidak hanya menceritakan persoalan-persoalan yang mereka alami di sekolah dan di rumah, sebagian dari murid juga menceritakan persoalan percintaan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Psychiatrist Lesson
RomansaJeon Jeongguk, seorang CEO muda yang tidak pernah mengenal cinta, terpaksa harus belajar mengenal cinta dari seorang konsultan psikiater, demi menikahi wanita yang dipertemukan dengannya untuk mengembangkan kerajaan bisnisnya. Kim Minji, seorang psi...