Dini hari di suatu tempat,"Gedebuk!" tubuh terlempar agak keras dari sebuah portal yang terlihat seperti blackhole. Aku menatap lubang itu agak lama, dengan terus menengok ke belakang sambil mengeluarkan tatapan kosong sampai akhirnya menghilang. Menyadari bahwa diri ini sedang berada dekat suatu rumah yang relatif besar, langkah tertarik menghampirinya secara diam-diam. "Aku harus waspada selalu! Karena, tak tahu ini dimana," ucap batinku. Sebisa mungkin, memperkecil suara kaki yang kebetulan masih memakai sepatu sejak dikejar-kejar sekawanan anjing liar kemarin. Sehingga, memungkinkan menimbulkan masalah baru tanpa disengaja.
Beberapa saat kemudian, bola mata teralihkan oleh pemandangan sekelompok pemuda dan dua orang tokoh bangsa yang sedang berbincang-bincang di teras rumah yang benderang lampunya menghangatkan suasana. "Aku harus hati-hati!" pikirku. Tak lama sekitar pukul empat pagi, para pemuda membawa dua pria: yang satu mengenakan peci hitam sedang lainnya, memakai kacamata beserta seorang wanita menggendong bayi laki-laki untuk dibawa ke suatu tempat. "Ada apa itu? Kemana mereka akan membawa orang-orang tersebut?" memperhatikan dari balik pepohonan sekitar. Terlihat semuanya dibawa dengan menggunakan dua mobil terparkir sejak awal. "Ya ampun! Ini ada apa, sih?" heran sendiri. Aku spontan berusaha mengejar kendaraan itu sebisa mungkin meski suasana masih tenggelam dalam temaram.
Tak lama setelah aku berlari agak jauh, kedua kaki rasanya kaku sekali. Benar-benar sulit untuk digerakkan sehingga, membuat diri ini menjadi terseok-seok. "Andaikan ada sesuatu yang dapat dikendarai, akan lebih mudah untuk mengejar jejak mereka," terengah-engah. Menengok singkat ke setiap arah, demi mencari-cari benda dimaksud untuk meringankan beban. Terlihat ada sepeda tua yang sedang terparkir di depan sebuah rumah kecil. "Ini dia! Kebetulan banget," tanpa berlama-lama mengambil alih setang dan mulai mengayuh. "Siapapun maaf, aku harus meminjam ini sebentar," ucapku dalam hati.
Tak terasa hari sudah pagi namun, suasana masih tergolong sepi. Sepanjang jalan yang dilalui masih gelap. "Huh! Udah sampai mana ini? Jauh banget," mengelap keringat akibat jarak tempuh perjalanan nan panjang. "Kalau begini terus habis juga energi, mana belum makan apa-apa lagi!" memaksakan kaki untuk terus-menerus bekerja mengayuh pedal. "Ayo, kamu bisa!" menggenjot semangat demi mengusir rasa lemas.
Setelah kendaraan yang membawa mereka berempat tiba di hampir batas kota yang terlihat aman dari sebelumnya, rombongan tersebut dipindahkan ke atas sebuah truk tua. Tidak perlu waktu lama, mereka melaju kembali, "Aku harus tetap jaga jarak! Jujur, ini terlalu menyulitkan! Sulit sekali untuk mendekat! Lagipula, khawatir juga kalau-kalau tertangkap dan dituduh yang tidak-tidak," bergumam. Tiba-tiba, pikiran mengarah pada orang-orang yang dibawa. "Sebentar! Tadi kalau tidak salah lihat itu..., Bung Karno, Bung Hatta, dan istri juga anak beliaukah? Jangan-jangan!" tersentak, membuat keseimbangan menjadi tidak stabil sehingga hampir saja jatuh. "Peristiwa Rengasdengklok!" benak mengingatkan dalam sela-sela berondong tanya kala itu. "Berarti tadi, apakah Jakarta?" menautkan kedua alis secara tidak sengaja. "Ah! Mana mungkin," menepis segala persepsi dalam diri.
Mobil terus melaju, menyusuri jalan raya penghubung antar kota. Di sana-sini, jalan yang dilalui penuh dengan lubang. Tak ayal, membuat penumpang mobil tersebut berkali-kali menemukan diri mereka terguncang-guncang. Deru mesin nan keras, tetapi kecepatannya mungkin tidak lebih dari kisaran enam puluh kilometer per jam. Setiap melewati rongga-rongga di tengah jalur, besi-besi pada badan truk itu mengeluarkan bunyi berderak-derak seperti kakek tua tengah lemah. Terlihat pula ketidaknyamanan muatan di dalam akibat, tidak ubahnya menumpangi kerangka besi raksasa. Kendaraan itu tidak memiliki atap penutup bagian atas dan samping. Tempat duduk yang tersedia hanya di bagian depan, tempat sopir. Jok kursi di sebelahnya, ditempati seorang ibu yang menggendong anak bayinya itu. Sedang dua orang pria hanya berjongkok di belakang bersama-sama dengan prajurit pengawalnya.
Seketika kendaraan terlihat berhenti gara-gara sesuatu di depannya, "Ada apa?" turun dari sepeda lalu menepi ke pinggiran tempat yang dapat dipakai untuk bersembunyi demi berjaga-jaga. "Beberapa orang sedang mencegat mereka rupanya," melihat ke tanah lalu, mendadak fokus kembali gara-gara truk tersebut melaju lagi. "Apa aku harus lanjut atau tidak?" tenggelam oleh kebimbangan. "Tidak! Jangan mengambil resiko di sini, lebih baik putar balik dan mungkin tersesat daripada harus terkena masalah," menghampiri kendaraan roda dua tadi lalu, mengayuhnya kembali setelah berbalik arah. "Aku jangan terlalu mengambil resiko! Ini adalah jalan terbaik!" mengarahkan diri untuk kembali ke rumah besar di Pegangsaan Timur nomor lima puluh enam tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mesin Waktu
Historical Fiction"Menemukan diri terjebak di masa lalu, dapatkah aku kembali ke masaku?" Anda akan diajak bertualang sekaligus melihat kembali fakta-fakta unik di masa lampau yang dikombinasikan dengan cerita fiktif. NB: Dilengkapi fakta sejarah dari berbagai sumber