Kelaparan

10 2 0
                                    

Tak terasa cakrawala telah hadir dengan warna biru nan cerah bersama sang surya tengah menyilaukan mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak terasa cakrawala telah hadir dengan warna biru nan cerah bersama sang surya tengah menyilaukan mata. Mengayuh pedal sekuat tenaga meski tanpa arah tujuan, berusaha memanfaatkan sisa-sisa tenaga selama hampir seharian penuh semenjak terdampar di tempat aneh semacam ini. "Ayo! Kamu bisa!" terengah-engah dibarengi keringat dingin mulai bercucuran. "Sepertinya aku kelelahan ataukah sekadar jenuh saja karena, belum sampai ke tujuan?" menginjak pijakan sepeda yang dimana kaki melenceng dari jalurnya dan 'Bruk!'. "Aduh!" memisahkan sepeda usang dari bagian tubuh yang tertindih. Namun, terhambat rasa pedih akibat, lecet ditambah rasa lemas. Akhirnya memilih pasrah lalu, menyerah saja.

Beberapa saat kemudian, sesuatu berbunyi dari dalam tubuh seakan-akan sedang mengadakan konser musik. "Aduh! Kalau begini terus bisa mati konyol ini," mengelus-elus perut. "Sedari tadi yang dilihat cuma ladang, sawah, tanah lapang, kebun... Mana rumah beliau-beliau tadi, sih! Minimal kan, rumah yang punya sepeda ini gitu...," bergumam. "Eh! kalau ketemu pemilik kendaraan usang ini..., habislah aku," melamun sejenak sampai tak terasa seseorang sedang memperhatikan. "Mau dibantu, Bung?" mengulurkan tangannya. "Boleh, terimakasih," menerima bantuannya tapi, tak sengaja tubuh terasa lebih ringan seperti selembar daun nan mudah tertiup angin.

Membuka mata, terdengar beberapa orang sedang berbicara membahas tentang anak lelaki yang baru mereka temui

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Membuka mata, terdengar beberapa orang sedang berbicara membahas tentang anak lelaki yang baru mereka temui. "Jangan-jangan dia adalah mata-mata Nippon! Jangan asal bawa kamu!" suara perempuan tua memperingatkan salah satu anggota keluarganya. "Sepertinya bukan, Mak. Pakaiannya juga berbeda lagipula, saya tahu pakaian mereka semua," terlihat pemuda sedang menerangkan. Dengan mata masih berkunang-kunang, "Aku dimana?" menatap anyaman pada langit-langit dari susunan bilah bambu nan begitu rapi. Mencoba menggerakkan kaki, "Ah!". Terlihat anak kecil datang menghampiri, "Bang, dia udah bangun!". "Hah?" terheran-heran. "Saya dimana sekarang?" memijat-mijat pelipis. "Kalau sakit, jangan memaksa diri untuk berpuasa. Nih!" menyodorkan sebungkus nasi. "Tidak, terima...," bagian tubuh di bawah rongga dada bersuara cukup keras memecah situasi. "Terima saja, Kak. Kami kan sehat, dan baru makan tadi pas masuk waktu Maghrib," merampas nasi dalam genggaman sang kakak untuk diberikan kepadaku. Aku cuma memandang penuh dengan pemikiran kosong. "Jangan sungkan, kami sudah makan," si pria tersenyum. "Bang, biar aku yang ambilkan air," anak kecil itu menahan lengan laki-laki di sebelahnya agar tidak berdiri dan beranjak. "Abang temani saja, teman Abang ini," berlalu dengan setengah berlari. Spontan makanan pokok itu disikat habis meski cuma sekadar ditemani tempe yang tinggal setengah, dengan tahu berukuran kecil terlihat sengaja dicubit untuk dibagikan. "Nih, Bang!" memberikan segelas air putih ke depan kakaknya. "Terimakasih, ya," mengacak rambut adiknya.

Tak terasa santapan di tangan telah raib, dilibas habis tanpa ada sisa sama sekali. "Ah, kenyang. Terimakasih," melipat bungkus dan ingin membuang sendiri agar tidak terlalu merepotkan. "Biar saya saja, Bung lanjut istirahatnya," merampas sampah dari genggaman. "Nih, minumnya," menyodorkan. "Oh ya, ngomong-ngomong sepeda ada di rumah tetangga sebelah, biar aman," menoleh sebentar. Tubuh langsung tertarik bangun untuk beranjak akibat kejutan bayangan dalam otak dimana, aku harus keluar dari masa ini dengan melakukan sesuatu untuk mempercepat sebuah peristiwa penting atau hanya diam menunggu waktu nan tak pasti. "Dalam buku yang pernah dibaca, peristiwa Rengasdengklok terjadi sehari sebelum kemerdekaan. Apa yang harus dilakukan? Apa yang perlu saya rencanakan?" menggigit jari lalu, berusaha untuk bangun. "Eh! Mau kemana? Kalau mengambil sepeda tinggal buka saja pintunya," mendudukkan tubuh untuk tetap diam dalam posisi sebelumnya. "Tidak baik seperti itu," berbicara pelan. "Hahaha..., tidak perlu segan. Sepedamu berada di bekas kandang ternak," ia menjelaskan. "Ya ampun, tapi terimakasih...," tersenyum paksa. "Mau kemana, Bung? Kalau sakit diam saja, jangan terlalu banyak kesana-kemari! Diam, dan jangan dulu mulai berpuasa!" dia memberi wejangan. "Tidurlah!" meminjamkan kain sarung miliknya. "Saya mau ke...," lidah tertahan ucapan benak untuk tidak membahas tentang tujuan sebenarnya. "Tahu jalan Pegangsaan Timur nomor lima puluh enam?" mulai melancarkan pertanyaan. "Tahu jalannya hanya saja, saya tidak tahu nomornya," menggaruk-garuk kepala. "Bisa kasih tahu dimana itu?" nada penuh penasaran. "Bujang! Cepat tidur!" perempuan tua berkebaya muncul membuka gorden. "Yah...," mendengus kecewa. "Besok saya kasih tahu, insyaallah tapi...," memejamkan mata. "Ya ampun! Bagaimana ini?" ocehan tersebut menjadi penghantar tidur secara tidak langsung.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mesin WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang