Sebelum Semuanya

61 6 2
                                    

Di suatu waktu, aku berjalan di sudut kota setelah pulang dari rumah teman karib. Seperti biasa, sambil berjalan diriku bernyanyi sambil bersiul-siul. Ada hal yang tidak ingin diketahui, dan tidak ingin dimengerti sama sekali. Entah sejak kapan, diri mulai apatis seperti ini. Terkadang, keegoisan hanyalah topeng yang sengaja dibalut dengan sikap acuh. Sesekali memejamkan mata untuk mengasingkan batin dari hiruk-pikuk jalanan, dimana sesekali menghirup udara sekitar pekarangan rumah yang rindang dengan pepohonan.

Ketika aku mendalami makna untuk ke sekian kali dengan diiringi lagu 'Killing Me', tubuh mendadak sempoyongan karena ditabrak orang. "Hey! Kalau jalan lihat-lih..., kemana orang tadi?" menghamburkan pandangan. Dari kejauhan terlihat segerombolan warga membawa sebatang kayu, juga membawa parang ke arahku. "Sial! jangan-jangan aku," lari tunggang langgang. "Hey! Lihat itu malingnya!" seorang bapak-bapak bertubuh mungil melihat langkah menukik menuju gang kecil, untuk bersembunyi dari balik tanaman anak nakal di depan rumah Pak Ramadan. "Aduh! Kok harus pake repot begini, sih? Mana tasku berat lagi," kebetulan baru memborong buku ensiklopedia dari perpustakaan kota seminggu yang lalu dan harus ku kembalikan sekarang. "Ayo! Tangkap dia sekarang!" beberapa orang berlarian dan terdengar mendekat. "Apa aku harus bertanggung jawab atas kesalahan orang lain?" sambil menjauhkan diri dari mereka sebisa mungkin.

Beberapa saat kemudian, tak terasa hari semakin gelap dan sepertinya aku tersesat gara-gara kejadian tadi. "Ah! kenapa hari ini aku tidak beruntung sekali?" meluapkan kekesalan dengan melempar batu ke tengah kolam di depan rumah yang sepertinya sedang kosong. 'Guk... guk... guk...' seekor anjing hitam menggonggong dan mengejar. "Apalagi ini? Ya ampun!" berlari secepat kilat ke daerah yang tidak pernah dikunjungi sama sekali. Sayangnya, ujung kaki tersandung ketika hendak menyeberang di jalan raya sehingga tubuh roboh lalu jatuh. "Apakah dia masih mengejar?" melihat ke segala arah kecuali di seberang jalan. "Semoga dia sudah pergi sekarang," bergumam dalam hati, bersama jantung berdegup sangat kencang. 'Guk... guk... guk...' terdengar mendekat. "Ya ampun! Dia masih ada, bahkan bawa temannya," spontan menggunakan jurus langkah seribu lagi. Akan tetapi, kakiku terasa sakit. Mereka mulai menyudutkan, tangan seketika menimpuk hewan liar itu. Sampai akhirnya, justru membuat semua semakin runyam terasa. "Aduh! Kok batunya sudah habis," menyebar fokus ke kiri juga kanan bahkan bagian belakang sekalipun. "Ah! Aku harus bagaimana lagi? Mereka memang bukan serigala, tapi ini mengerikan," menggenggam pasir untuk menarget sebisa mungkin. "Yes, berhasil!" sambil menarik kepalan tangan tanda senang.

Setelah beberapa saat, aku baru sadar hari semakin gulita. "Aku yakin, ibu pasti sedang khawatir," pikirku. Akan tetapi, menemukan diri sudah berada di tengah persawahan yang begitu luas. "Aku dimana? Anjing-anjing itu dimana?" menjadi heran. "Apa-apaan lagi ini?" emosiku meledak-ledak. "Oh, ya! Tasku dimana tadi?" seketika menjadi panik kalau-kalau, menghilangkan buku pinjaman yang hendak dikembalikan tadi sepulang dari rumah Anton.

Mesin WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang