Kereta kuda yang kutumpangi berhenti di depan rumah seorang aristokrat yang sama untuk keempat kalinya. Sejak sebulan yang lalu keluarga William Whitlock, Earl of Blackwater telah menawariku bekerja sebagai dokter pribadi Margaret Whitlock Sterkenson Countess of Blackwater, istri sang Earl. Banyak yang berkata aku mengabdi untuk keluarga ini sepanjang hidupku. Namun itu hanya rumor. Faktanya, aku hanya melakukan kunjungan dan perawatan yang lebih intens kepada Countess Margaret.
"Terima kasih," ucapku kepada kusir. Memberi sela, aku memastikan tidak ada benda yang tertinggal. Aku meraih tas kulit dokter milikku yang tergeletak begitu saja di lantai kereta, tak mungkin kulupakan benda setebal ensiklopedia itu.
"Ambil saja kembaliannya, Pak." Aku berusaha tidak terdengar angkuh.
Kusir mengangguk dan tersenyum berterima kasih. Itu membuatku bahagia, kombinasi yang hangat antara keringat kerja keras dan ucapan terima kasih yang tulus. Pria bertubuh kurus itu meletakkan jarinya di lidah topi yang dikenakan sebagai tanda penghormatan pada umumnya sebelum akhirnya kembali melajukan kereta kuda berwarna merah itu.
Aku berbalik, rumah dengan cerobong asap berjelaga menyambutku. Aku melangkah pasti menuju pintu mahoni cokelatnya. Setelah beberapa kali mengetuk, pintu pun dibukakan oleh seorang pelayan berseragam yang dengan sigap membungkuk lalu mempersilakanku masuk.
“Nona Oliver, aku senang atas kedatangan Anda.” Aku mengenal suara bariton tua itu. “Sebuah kehormatan untuk dapat diterima lagi di sini, Lord,” tuturku sopan sambil membungkuk.
“Sebagai satu-satunya dokter wanita di London, ucapanmu terlalu berlebihan, Nona. Seperti biasa, panggil saja Tuan.”
Dia bertanya, “Jadi, apakah Anda tidak memiliki kesibukan di rumah sakit hari ini?” Aku mengikutinya meninggalkan ruangan menerima tamu, langkah kami sejajar.
“Ya, sudah kujadwalkan hari Kamis adalah hari berkunjung, Tuan.” Aku melirik wajahnya, ia seperti sedang berpikir.
“Kau tahu, istriku mungkin akan lebih sering membutuhkanmu,” katanya terdengar putus harapan.
Ah, aku mengerti arah pembicaraan ini. “Aku memiliki hari kosong pada Kamis dan Sabtu, Tuan,” tawarku.
“Tapi, Tuan ....”
Langkah Tuan William terhenti, matanya menatapku dengan keraguan. “Banyaknya kunjunganku tidak serta merta memengaruhi kesembuhan beliau,” ucapku lembut, tidak ingin menyakiti perasaan pria tua ini.
Tuan William mengangguk. “Aku mengerti,” jawabnya pasrah.
“Penyakitnya sudah mengganas sebelum kami dapat menyadarinya.” Terlihat kesedihan memancar dari mata abu-abunya.“Aku minta maaf, Tuan. Aku tidak dapat berbuat banyak. Hanya sekadar-“
“Kau melakukan tugasmu, Nona. Apa pun hasilnya, tidak ada yang perlu disesali.” Lirihan pedih diakhiri senyum yang dipaksakan. Memperbaiki letak jasnya, Tuan William mendahuluiku. Hatiku berkecamuk dalam sedih dan harapan yang tersisa bagi Nyonya Margaret. Aku sangat mengerti keadaannya karena aku juga sedang menanggung beban yang sama.
Kekasih lemon tart-ku sedang berperang di Krimea. Bangun dan tidur di atas hantaman peluru serta ancaman penyakit menular tanpa perawatan medis yang memadai, dia juga berada di ambang hidup dan mati. Kami hanya bertukar tulisan lewat surat menyurat yang datang sangat lambat. Baru kali ini aku bisa merasakan sebuah kehidupan dari secarik kertas. Surat-suratnya kubaca berulang kali sampai aku dapat mengingat setiap hurufnya.
Kekasihku membuatku bersemangat untuk menyelamatkan siapa pun yang dapat kutolong karena aku tahu bagaimana rasanya takut akan kehilangan itu. Jika suatu saat nanti aku berhenti mendapat surat darinya atau apa pun kemungkinan terburuknya, aku akan tetap merawat mereka yang sakit semata-mata aku tidak ingin mereka mengalami hal yang sama yang sedang dialami Phelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri: Shake a Flannin
Mystery / ThrillerJune Oliver bekerja di rumah keluarga Earl William Whitlock sebagai dokter yang merawat Margaret Whitlock一istri sang Earl. Suatu hari, terdengar suara ketukan pintu dari dalam lemari pakaian pasiennya itu. Ada orang asing! Keadaan menjadi semakin ru...