Langkah kami sejajar. Nelson memutuskan untuk mengantarku pulang, berjaga-jaga apabila peringatan Tuan Carey tentang pria bertopi bowler dan berwajah putus asa itu benar adanya.
Derap clog-ku berisik setiap kali bertemu dengan batuan, sedangkan bot Nelson rupanya lebih tenang. Pria itu tidak lagi memakai jas pemburu yang diberikan Tuan Carey. Ia melipatnya, lalu menjinjing jas itu seperti tas. Tuan Tukang Suruh tampak sudah menyatu dengan penyamaran sebagai Colin Smith. Kumis yang menempel di bawah hidungnya tidak digerak-gerakkan lagi.
Aku membenarkan letak jas pemburu yang masih kukenakan. Ya, aku masih menggunakannya. Jas ini ternyata mampu membuatku lebih hangat walau sangat berat dan panjangnya hampir menyamai gaunku.
Kami menyusuri perumahan di Askew Road, Shepherd's Bush. Langit London mulai gelap, tapi masih menyisakan warna biru mudanya. Lampu-lampu jalan sudah dinyalakan oleh petugas yang bersepeda.
Pria itu tersenyum ke arahku setelah menyalakan lampu minyak di tepi jalan. Aku membalas senyumnya. Ini bukan satu hal yang aneh bagiku, aku kenal pria itu. Dia sering menyalakan lampu jalan di daerah Askew Road. "Semoga sisa hari kalian menyenangkan, Nona Oliver dan Tuan."
"Terima kasih, kuharapkan yang sama juga bagimu," kataku, sedangkan Nelson hanya tersenyum membalas pria yang sudah tidak muda lagi itu.
Pria itu mengayuh sepeda tuanya kemudian menghilang di pertigaan samping rumah si tukang kayu.
Daerah ini kembali sepi. Jalanan lembab membuatku menyadari bahwa hujan mengguyur daerah ini juga. Aku dan Nelson sempat singgah ke Shackleton Coffee House. Membeli segelas kopi untuk masing-masing dari kami dan bercakap-cakap tentang arsenik yang kutemukan kemarin.
Nelson tidak punya gagasan apa pun. Ia masih berpikir itu hanya kebetulan saja, seseorang mungkin ingin menghancurkan nama baik Rumah Sakit St. Thomas, sedangkan aku berpendapat bahwa itu adalah salah satu bukti. Entah mengapa aku tidak bisa menjadikan keberadaan racun itu sebagai angin lalu. Perdebatan kami berakhir dengan keputusan bahwa penyelidikan kami harus terus berlanjut.
Tak terasa, kami sudah berada di depan pintu belakang rumahku. Aku membuka pintu dengan bersemangat. Hasratku untuk membaca koran Times edisi sore tak bisa kubendung.
"Kau ingin mampir?" tanyaku pada Nelson setelah pintu terbuka.
"Jarang sekali kau seperti ini. Apa kau takut dengan pria bertopi itu?" Nelson tersenyum miring.
"Astaga, mudah sekali bagimu untuk meremehkanku, ya?" Aku bersedekap dan mengangkat sebelah alis seperti seorang ibu yang mendapati anaknya berbuat kenakalan.
Nelson tertawa. "Kau tahu aku hanya ke sini untuk makan, kan?" Sedikit jeda, pria itu mengintip isi dapurku. "Kalau kau mau berbaik hati lagi padaku, aku akan dengan senang menerima makanan gratis."
"Ck." Aku memutar bola mata. "Ya sudah masuk. Banyak bicara saja." Setelah Nelson masuk, aku pun menutup pintu.
Aku berjalan mengelilingi rumah, sibuk menyalakan lampu-ampu dengan korek api yang sudah kusiapkan di dalam tas jinjingku, sedangkan aristokrat muda ini hanya mengikutiku seperti tengawal yang setia. Beberapa menit kemudian, semua lampu telah menyala.
"Jadi apa kau akan masak makan malamnya segera?" tanya Nelson sambil menggantung jas pemburunya di tiang gantungan yang berada di ruang tengah. Sementara itu, aku meletakkan tasku di meja.
"Tidak, aku ingin mendiskusikan gagasanku denganmu. Sekutu telah menguasai Savastopol, tidakkah kau mengetahui itu?" Kulihat wajah Nelson berubah, sepertinya dia tidak percaya dengan perkataanku barusan.
Aku mengangkat koran yang sempat beristirahat di dalam tasku. "Lihat ini." Kutunjuk berita yang tercetak paling depan.
SEVASTOPOL DIKUASAI PASUKAN SEKUTU
TERIMA KASIH UNTUK KEGIGIHAN PRANCIS
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri: Shake a Flannin
Mystère / ThrillerJune Oliver bekerja di rumah keluarga Earl William Whitlock sebagai dokter yang merawat Margaret Whitlock一istri sang Earl. Suatu hari, terdengar suara ketukan pintu dari dalam lemari pakaian pasiennya itu. Ada orang asing! Keadaan menjadi semakin ru...