Aku menyimpan surat Phelan di atas meja. Masih belum bisa berkata apa-apa untuk beberapa alasan. Pertama, hatiku seperti diiris-iris ketika Phelan bilang dirinya tertembak rifle. Kedua, melalui surat ini dia tampak begitu putus asa dan aku sangat kasihan padanya. Ketiga, permintaan tolong Phelan yang tak terduga dan sedikit membingungkan.
Pandanganku jatuh pada Tuan Tukang Suruh. Matanya menatapku, sebelah sudut bibirnya tertarik. Aku menyipitkan mata dengan alis bertaut, bermaksud menanyakan apa maksud senyumnya.
Nelson meletakkan cangkir teh yang isinya tinggal setengah. Ia menegakkan tulang belakangnya sehingga punggungnya sudah tak lagi menyentuh sandaran kursi. Kedua sikunya tertumpu pada atas paha. Ia berdeham sambil tertunduk. Begitu kepalanya terangkat, ia menerawang ke arah sekitar kami dengan mata yang menyipit sambil mengigit bibir bawahnya.
"Dari mana kita harus memulai pembicaraan ini?" tanyanya ketika sudah mengalihkan perhatian kepadaku.
Aku mengedikkan bahu. "Mana kutahu. Apa akar masalahnya? Mungkin kau bisa mulai dari situ," saranku.
Ia menggeleng ringan, "Tidak, aku tidak bertanya padamu. Aku menanyakan pertanyaan itu pada diriku sendiri." Nelson melirik surat Phelan, "Kita mulai dari surat itu saja."
Aku memutar bola mata sambil mengembuskan napas kasar. Dia berhasil membuatku merasa bodoh hanya dengan beberapa kalimat. "Baiklah, mari kita bahas tentang surat itu terlebih dahulu," kataku menyetujui keputusannya.
Ia mengangguk, "Memang seharusnya seperti itu," ucapnya seperti bergumam.
"Baiklah, Nona June. Aku pikir kau tahu bahwa aku dan Phelan sama-sama mengabdikan diri bagi negara dalam perang itu, kami merupakan teman baik."
"Ya, dia sudah memberitahuku tentang pertemanan kalian di surat itu."
Nelson mengangguk. "Baguslah kalau begitu, jadi kau tidak perlu heran bagaimana aku bisa rela membawa suratnya ke sini. Satu-satunya alasan adalah dia merupakan teman baikku. Alasan lainnya adalah kami merasa ada sesuatu yang tidak beres tentang batalion kami."
"Apa maksudmu dengan 'ada yang tidak beres'?"
"Di situlah dia kerumitannya. Kau bertanya padaku, aku tidak tahu jawaban pastinya. Aku masih mengira-ngira."
"Apa yang membuat kau berpikir batalion kalian memiliki sesuatu yang janggal?"
"Jadi begini, batalion kami terdiri atas enam kompi. Aku dan Phelan dikelompokkan dalam kompi yang sama. Setiap kali kami berhadapan dengan Rusia, kompi kami selalu menang atau setidaknya paling banyak membunuh musuh. Aku tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi itulah yang terjadi. Pemimpin kompi kami adalah Phelan sendiri.
Hasil dari serangan kami akan selalu dilaporkan pada komandan batalion. Biar kusebut nama komandan kami agar jelas. Letnan Kolonel Porter Wensley namanya. Laporan dari batalion kami akan dilanjutkan sampai pada ayahku dan aristokrat lainnya yang terlibat, serta keluarga kerajaan."
Aku mengerjapkan mata, rasanya tidak ada yang mengganjal dari cerita Nelson. Bukankah begitulah seharusnya mekanisme peperangan?
"Tapi itu hanya permulaan," tambah Nelson bagai bisa membaca pikiranku yang sedang bingung.
"Semakin ke sini, batalion kami selalu ditempatkan di depan. Aku tidak tahu mengapa, bahkan batalion yang memiliki laporan lebih bagus pun berada di paling belakang. Aku bukannya tidak suka berada di paling depan, tapi kau tahu sendiri kan?
Aku rasa Phelan seharusnya sudah memberitahukanmu bahwa dia terluka, bahkan teman-teman kami yang lain dalam kondisi yang lebih parah darinya. Namun sebelum aku berangkat pun, Phelan masih ditempatkan di paling depan dengan kompi yang anggotanya sudah kurang dari seratus orang. Aku beruntung bisa pulang karena pangkat ayahku tapi aku belum akan menunjukkan diri pada siapa pun sebelum masalah ini tuntas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri: Shake a Flannin
Детектив / ТриллерJune Oliver bekerja di rumah keluarga Earl William Whitlock sebagai dokter yang merawat Margaret Whitlock一istri sang Earl. Suatu hari, terdengar suara ketukan pintu dari dalam lemari pakaian pasiennya itu. Ada orang asing! Keadaan menjadi semakin ru...