15. Sebuah Pesta

10 2 0
                                    

Aku menoleh ke jendela. Ada satu kereta kuda yang berhenti di depan rumah Earl William Whitlock. Dari situ, turun seorang pria pirang yang kucintai disusul pria tua yang lebih pendek darinya. Mereka, Phelan dan Tuan Wensley, terlihat seperti saudara yang berbeda usia sangat jauh, mengingat postur letnan kolonel yang masih bugar itu.

Aku meletakkan cangkirku di meja dan berjalan ke pintu, menyambut si pria pirang. Sempat kulihat Bibi Hawkins dengan gaun birunya sedang duduk santai di sebuah kursi kayu, berbincang-bincang dengan Nyonya Margaret.

"Phelan!" sapaku pelan sambil memeluknya dari samping. Dia tersenyum lalu merangkulku. Sementara itu, Tuan Wensley sudah lebih dulu berjalan di depan kami dan bercakap-cakap dengan Tuan William.

Aku dan Phelan melangkah ke ruang makan di mana Daylan dan Nelson sedang berdiskusi tentang kasus Edmund Alexander dan laporan Perang Krimea yang tak kunjung selesai.

"Apa kalian sudah mendapat titik terangnya?" tanyaku pada dua pria itu. Mereka menoleh ke arahku lalu mengedikkan bahu.

"Tapi aku punya gagasan. Kurasa orangnya di sekitar sini. Orang yang dekat dengan kalian berdua." Daylan bangkit dari kursi, menepuk pundak Daylan kemudian berjalan lurus ke meja makan.

"Nyonya June, Tuan Phelan, dan Tuan Nelson, silakan ke meja makan. Pesta kecil ini akan segera dimulai," pinta seorang pelayan wanita yang masih menggunakan celemek.

Kami bertiga berjalan ke arah meja makan besar bertaplak putih yang sudah dipenuhi berbagai makanan. Daging sapi, kambing, babi, bacon, keju, telur, roti, kentang, nasi, oatmeal, susu, gula, treacle, selai dan teh dihidangkan di atas meja. Semerbak aroma makanan dan minuman itu membumbung naik, memenuhi indra penciumanku.

Aku duduk di antara Phelan dan Nelson. Di depan kami, terdapat Daylan yang duduk di antara Tuan Wensley dan Bibi Hawkins. Sementara itu, Tuan dan Nyonya Whitlock duduk berhadapan di dua sisi lain meja persegi panjang ini.

Pelayan-pelayan menuangkan air di tempat cuci tangan kami. "Bisakah bunga ini diletakkan di tempat lain? Aku takut bunga mawar," pinta Bibi Hawkins pada pelayan pria yang menuangkan air di tempat cuci tangannya.

Setelah itu, kami mulai makan. Percakapan yang tercipta tidak lari terlalu jauh dari kasus yang baru-baru saja terjadi. Mereka terus menerka-nerka siapa pelakunya. Namun, aku sudah tidak bisa diam lagi.

"Sebenarnya, aku sudah tahu pelakunya," ucapku lalu memasukkan bacon ke dalam mulut.

Semua orang terdiam. Semua mata tertuju padaku.

"Kau, Bibi Hawkins. Kau pelakunya," ujarku memecah keheningan.

"Apa-apaan ini, June? Kau menuduh bibimu sendiri atas sebuah kejahatan tak masuk akal ini?" Kedua mata Bibi Hawkins membelalak.

Aku tersenyum miring.

"Kau tidak sendiri. Kau dan Letnan Kolonel Wensley bekerja sama dengan Edmund Alexander," ujarku. 

Tuan Pendiam yang duduk di ujung meja terlihat samar-samar tersentak setelah mendengar perkataanku.

Semua orang terdiam. Suasana yang tadinya dipenuhi gurauan dan obrolan kini membeku seperti es batu. Sementara itu, Phelan yang berada di sampingku tampaknya tidak tenang ketika Tuan Wensley melayangkan pandangan mengintimidasi ke arah kami.

"Ini sebenarnya permainan yang tidak terlalu sulit. Alasannya hanya satu: For the past. Edmund memang adalah adik dari Phelan, dia ingin membalas dendam atas hidupnya yang tidak layak selama ini."

"Tapi bibimu? Apa hubungannya?"

"Hubungannya jelas, Nelson. Tuan Wensley berjanji akan menikahi Bibi Hawkins. Namun, mereka butuh lebih banyak uang untuk pesta pernikahan, juga kehidupan mewah seorang letnan kolonel dan wanita tua yang menyukai fashion.  Selain itu, mereka ingin membunuh Phelan karena jika dia menikahiku sebelum mereka menikah, maka pernikahan pasangan tua ini tidak mungkin terjadi. Namun, alasan utamanya adalah yang tertulis di botol arsenik itu, pembalasan dendam untuk masa lalu."

Misteri: Shake a FlanninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang