Bab 1

301 33 15
                                    

Morning kesayangannya Author.. eh eh.. sejak kapan jadi lebay... Hahaha..lagi seneng aja, akhirnya bisa nulis lagi bareng sama mbak Irma Syarief. Rencana sih nulisnya mo ganti-gantian ya.. doakan lancar, tahu sendiri aku suka banget molor...
Oke.. siap-siap menyimak perjalanan Untari dan anak-anaknya.

Terima kasih

20 Desember 2019

      "Apa, Mbak Citra? Ibu gak salah?" Teriak Wiryawan tidak percaya. Semua mata beralih melihatnya.

        Laki-laki itu langsung berdiri dari kursi empuknya, lalu berdiri di samping kursi. Entah untuk apa! Matanya tidak lepas dari sang ibu yang duduk berdampingan dengan Dianti. Perempuan 65 tahun itu mengangguk sambil tersenyum.

       "Ibu, tidak bergurau 'kan? Gurauan Ibu tidak lucu. Ini tentang rumah batik kita! Kenapa harus Mbak Citra!" Protesnya dengan suara tinggi.

       Untari bergeming. Tatapan lembutnya tidak beralih pada Wiryawan yang terlihat sangat emosi. Rahangnya mengeras,  mukanya merah seolah menahan tumpukan amarah yang siap dilempar ke seluruh penjuru rumah. Tangannya mengetuk- ngetuk kasar sandaran kursi di samping. Suasana menjadi hening.

      "Daripada Mbak Citra, kenapa Ibu tidak memilih kami yang mengelolanya. Ibu  tau bagaimana kapasitas kami."
Kali ini si bungsu mencoba merayu. Dianti memegang lengan Ibunya, memijatnya lembut. Untari tahu kebiasaan putri bungsunya ketika menginginkan sesuatu. Agresif memberi perhatian yang tidak biasa, hanya untuk memudahkan mendapatkan keinginannya. Di antara anak-anaknya hanya Citra yang sering memijitnya. Anak itu..

      "Atau  ...."

      "Atau apa?" Potong Untari lembut tapi tegas. Angannya tentang perhatian Citra, terputus. Pandangan sang Ibu tajam menatapnya  Dianti tersipu.

       "Kenapa enggak aku saja? Bisnisku sejalan dengan bisnis keluarga kita. Atau ... Mas Wawan yang sudah ahli dalam berbisnis. Kalau mas Ndaru, jelas gak bakal mau. Iya 'kan Mas?" Dianti kembali bicara.

        Andaru yang tiba-tiba disebut hanya nyengir, karena memang dia sama sekali  tidak tahu bisnis. Hidupnya sudah cukup ribet dengan urusan pasien di rumah sakit.

      "Anti tidak bermaksud  merendahkan atau meragukan kemampuan Mbak Citra, tapi untuk ukuran pembisnis Mbak Citra kurang berambisi. Lihat saja, tiga tahun membantu Ibu rumah batik kita masih seperti ini," keluh Dianti sok tahu.

       Untari kembali tersenyum mendengar paparan si bungsu yang memang memiliki ambisi besar dengan rumah modenya di Jakarta. Belum lama bergelut dalam dunia fashion, nama putri bungsunya sudah cukup terkenal, sudah beberapa kali masuk majalah Her World dan Femina.

      "Bu, rumah batik itu hasil perjuangan Ibu dari nol. Butuh tangan-tangan yang hebat dan manajemen yang handal untuk keberlangsungan perusahaan itu. Bukan orang biasa yang tidak memiliki keahlian dalam bidangnya," kata Wiryawan kembali menyerang. Nada suaranya terdengar lebih lembut, dengan sedikit menekan pada bagian akhir kalimatnya.

        Untari memperhatikan wajah-wajah yang tidak puas di hadapan. Wajah yang dalam tubuhnya mengalir darah dan kasih sayangnya. Wiryawan, berdiri kokoh di sebelah kiri dan menatapnya tajam. Dada Untari terasa sesak. Tatapan itu mengingatkannya pada suaminya Tomy Sujiwo. Ekspresi paling tidak disukai dari laki-laki yang memberinya tiga orang anak yang sekarang ada dihadapannya. Dianti si bungsu menunduk sambil memainkan gawainya. Sementara Andaru, si tengah yang biasanya tenang kini terlihat gelisah. Kakinya bergoyang-goyang, matanya bergantian melihat Ibu dan kakaknya.

        "Mas, coba pelan sedikit ngomongnya! Aku takut Mbak Citra mendengar pembicaraan kita. Bagaimana pun, Mbak Citra itu kakak kita. Kita wajib menyimpan hormat padanya."  Akhirnya Andaru bersuara, Wiryawan mendengus kesal. Tatapannya tajam menghujam  mata Andaru, mencoba mengintimidasi.

Warisan Untari (Complete Alias Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang