Bab 14(1)

112 22 0
                                    

Bab 14 Bagian 1

Mentari pagi terbit membiaskan rona merah dan orange di kaki cakrawala ufuk timur. Keheningan berganti dengan kehangatan dan suara-suara penyemangat hidup. Geliat kota Solo telah menyeruak. Para pengrajin batik kembali menunaikan tugasnya tanpa mengeluh. Batik telah membalut kehidupan mereka sepenuh jiwa raga sejak dahulu yang diturun secara turun temurun dari para sesepuh. Hingga akhirnya batik menjadi identitas kota ini.

Batik Solo sedikit banyak dipengaruhi budaya kerajaan Mataram seperti halnya Jogyakarta. Sayang, perjanjian Giyanti mengakibatkan perpecahan antara Keraton Surakarta dan Keraton Ngayogyakarta. Motif dan corak batik kedua keraton pun menjadi berbeda. Seiring waktu, para pembatik Solo lebih banyak mengembangkan corak baru. Namun, corak dan motif yang dipakai di masyarakat tentu saja berbeda dengan corak yang dipakai di dalam lingkungan keraton. Ada beberapa motif yang hanya bisa dipakai oleh petinggi kerajaan dan dilarang digunakan oleh rakyat biasa.

Batik adalah perpaduan keindahan dan cita rasanya yang tinggi. Pesona kain  dengan bau yang khas Jawa itu membuat  banyak cinta bertebaran. Cinta kepada budaya dan keluarga. Batik pula yang mengikat sebuah hubungan menjadi indah serta kuat dalam sebuah pernikahan dan hubungan kekeluargaan. Alunan cinta inilah yang membuat pagi selalu dirindukan oleh mereka para pengrajin batik.

Namun, bagi Untari, pagi kali ini tidaklah seindah kata. Perempuan paruh baya yang masih cantik dan singset ini enggan menatap fajar yang mulai menghangat. Batik-batik yang puluhan tahun selalu menemani dan setia tanpa protes sudah tidak lagi jadi penyemangatnya. Tidak ada lagi gelora yang membuncah di dada. Pendar matanya tak lagi tentang kain-kain bercorak indah dan Rumah Batik Kencana.
Perempuan itu hanya ingin satu hal, kehadiran Citra si permata hati.

Ketukan pintu yang berulang dari orang yang berbeda tidak membuatnya membuka celah itu. Bahkan, cahaya matahari yang mulai menerobos masuk lewat sela-sela jendela dan tirai diabaikan begitu saja. Dia masih bergelung diri di atas kasur. Semalam rasa ngantuk itu menggodanya. Hanya sekejap netra. Pukul tiga dini hari tadi, Untari terbangun. Waktu dan gigitan hawa dingin membuatnya selalu terjaga di waktu-waktu itu. Tahajud memanggilnya untuk bersimpuh kepada Sang Pemilik kehidupan. Air matanya kembali merebak. Mengukir kenangan lama yang tidak akan pernah pudar walaupun terjeda waktu. Kenangan bersama Arga Kusuma dan Citra yang membuatnya bahagia.

Arga Kusuma, nama itu masih terpatri kuat dalam relung hatinya yang paling dalam. Sesungguhnya cinta putih milik Untari hanya untuk laki-laki baik itu. Ayah kandung Citra Anjani.

Citra, Ibu merindukanmu, Nak! desah Untari.

Perempuan paruh baya itu menggigit bibir. Menahan gejolak jiwa yang seakan berloncatan ingin keluar dari dada. Dia tidak ingin menyalahkan siapa pun. Namun, dia tahu segala ada sebab akibat.

Kembali, sebuah ketukan terdengar di pintu jati itu. Untari melirik jam weker berbentuk hati berwarna hitam metalik di meja kecil samping tempat tidur. Pukul sembilan pagi. Sudah siang rupanya. Bagi Untari, pukul sembilan biasanya dia sudah berkutet dengan buku laporan dan kain-kain yang baru datang. Terkadang, saat itu dia sudah berbaur dengan para pembatik dan karyawan di rumah Limasan.

Untari bangun dan duduk di pinggir ranjang. Tangannya mengibaskan rambut panjang yang tergerai menutupi mata dan dahinya. Perlahan, dia melangkah menuju pintu dan membukanya dengan perasaan enggan.Dari  celah pintu yang sedikit terbuka,  Untari memandang sosok tampan berkaca mata yang tengah menatapnya hangat.

"Ibu, Ndaru bawain wedang jahe buatan Mbok Jum. Mungkin Ibu bisa menikmatinya selagi masih hangat. Mau Ndaru simpan di meja kamar?"

Untari tak menjawab. Dia hanya menatap putra keduanya. Andaru paling bisa menawan hatinya lewat kata-kata yang lembut dan menyihir. Terkadang, Untari tak kuasa menolak tatapan dan perkataan Andaru yang sopan. Andaru dan Citra dua orang yang berbeda tapi memiliki kesamaan. Untari kembali teringat Citra. Hatinya basah.

Warisan Untari (Complete Alias Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang