Bab 12 (1)

113 19 1
                                    

Selamat malam sahabatnya Untari, maap baru update. Padahal cuman mindahin doang baru sempat. Ini juga nyolong-nyolong waktu. Malam ini update dua part ya.. dua-duanya copas tulisan mbak irmasyarief rekan duitku..
Yuk mari dibaca..

Senja merambat perlahan menuju ufuk barat. Lazuardi langit berubah menjadi semburat warna jingga yang berpendar cantik di batas cakrawala. Matahari kembali ke peraduan. Purna sudah tugas yang diembannya hari ini. Esok pagi sang mentari kembali menyapa mematuhi titah Sang Pemilik Kehidupan. Kini, giliran sang rembulan menampakkan kecantikannya.

Selepas Magrib, semua keluarga sudah berkumpul di Roemahkoe Resto, sebuah restoran bernuansa homey dan sangat nyaman untuk pertemuan keluarga dalam rangka syukuran hari kelahiran Untari. Restoran ini sengaja dipilih Arsanti karena selain lokasinya tidak jauh dari rumah Laweyan agar Untari tidak terlalu lelah, juga menawarkan berbagai menu yang sangat lengkap. Tentu saja banyak pilihan. Semua bergembira. Bahkan, Wiryawan berencana membujuk Ibunya agar diberi lagi tambahan modal. Itu pun atas permintaan Amira.

Andaru memandang keluarganya. Semua anak Ibu hadir kecuali Citra dan Danta. Hal ini yang membuat Untari dan Andaru sedikit gelisah. Terutama Untari. Beberapa kali matanya memandang ke arah luar restoran dan berharap jika pengunjung yang baru datang adalah orang yang ditunggunya. Andaru pun beberapa kali mencoba menghubungi Citra, tetapi handphone kakaknya tidak aktif. Begitu pula dengan Arsanti. Tangannya tidak lepas dari gawai. Dia mencoba menghubungi Pak Harso, tetapi panggilannya tidak terjawab.

Pemandangan terbalik justru ada di meja seberang Untari. Wiryawan, Dianti, dan Amira tertawa senang tanpa menghiraukan kegelisahan saudara dan ibu mereka. Ada tidaknya Citra di antara mereka tidak ada pengaruhnya untuk mereka. Dianti yang biasanya dekat dengan Citra, kini sikapnya berubah dan lebih condong pada kakak iparnya. Beberapa kali Amira menyindir Citra yang tidak ada di sana.

"Wih, katanya paling sayang sama Ibu, tapi kok sampai  sekarang belum datang?" sindirnya halus sambil memandang  Untari.

Untari mendengar apa yang diucapkan menantunya tetapi perempuan itu memilih diam. Pandangannya kembali dilempar ke arah pintu.

"Mungkin Mbak Citra pulang dulu, Mbak. Ganti baju yang bagus," cetus Dianti.

"Masa sih? Tapi ... kurasa Mbak Citra tuh, mau pake baju bagus atau biasanya saja, tampilannya sama kok. "

Celoteh Amira disambut gelak tawa suaminya. Dianti tersenyum dan tidak membalas. Bagaimana pun dia masih menghormati ibu dan kakak tertuanya.

"Udah pukul tujuh, masa belum datang juga? Mas Ndaru, coba hubungi Sumirah. Barangkali Mbak Citra dan Danta udah ada di rumah," titah Untari kepada Andaru.

"Inggih, Bu."

Namun, jawaban yang diterima Andaru saat menelepon ke rumah pun sama. Citra dan Danta tidak ada. Pandangan Andaru beralih pada Arsanti yang disambut dengan gelengan kepala dan wajah yang bingung.

"Bu, Pak Harso juga enggak bisa Santi hubungi. Apa handphone mereka lowbat ya?" tanya Arsanti.

Untari mengusap wajahnya perlahan. Air muka senja itu terlihat keruh. Dia menghela napas panjang. Tangannya berulangkali mengusap lengan. Untari merasakan udara dingin mulai menyentuh kulitnya. Rasa sepi menggelayuti hati. Perasaannya ini sudah dirasakan sejak pagi tadi. Ada yang aneh dengan Citra hari ini. Namun, dia masih berharap putri sulungnya baik-baik saja.

Di saat Untari sibuk memikirkan Citra dan Danta, makanan yang dipesan akhirnya datang. Wiryawan dan Amira bersorak tanpa mengindahkan hati Untari. Dianti kemudian menata makanan tersebut sesuai dengan pesanan pemiliknya.

"Bu, makanan sudah siap. Mumpung masih hangat. Bagaimana kalau kita makan dulu? Sambil menunggu Mbak Citra datang?" bujuk Dianti.

Andaru dan Arsanti pun melakukan hal yang sama. Untari menggeleng. Tangannya sibuk memencet tombol di layar gawainya. Beberapa kenalan yang dirasakan dekat dengan Citra pun dihubunginya.

"Kalian, makan saja duluan. Ibu mau menelepon teman-teman Citra," jawabnya tanpa memindahkan pandangan dari layar gawai.

"Kalau Ibu tidak makan, Santi juga engga mau makan."

"Ndaru juga! Mau menemani Ibu dan Arsanti."

"Ya udah, Anti juga nunggu Ibu selesai telepon."

Wiryawan  berdeham keras. Wajahnya ditekuk. Amira terlihat sebal. Gestur tubuhnya menyiratkan ketidaksukaan atas perkataan adik-adik iparnya.

Brengsek nih, Mbak Citra! Merusak mood makanku saja. Ibu juga, terlalu berlebihan. Makan tinggal makan. Malahan mikirin anak tirinya. Sialan! gerutu Amira dalam hati.

Untari termenung. Wajahnya diangkat dari layar gawai. Mata milik Andaru yang menatapnya lembut seolah membius untuk berhenti sejenak dari aktivitasnya. Andaru mengangguk sambil tersenyum. Tangannya membelai jemari Untari. Perempuan itu tersadar lalu melirik jam di pergelangan tangannya.

"Baiklah ... kita makan duluan. Mungkin Mbak Citra masih di jalan."

Keputusan Untari disambut kelegaan di hati Andaru. Diam-diam dia mengkhawatirkan ibunya jatuh sakit. Selain itu, dia juga melihat Amira mulai bertingkah tidak sopan yang membuatnya jengah.

Mereka makan dalam suasana hening. Arsanti menawarkan makanan yang dipesannya kepada Untari. Perempuan itu menolak dengan halus. Matanya hanya tertuju pada piring dan gawai yang diletakkan di samping. Andaru sesekali mengajak bicara ibu dan saudara-saudaranya yang lain. Wiryawan tidak peduli dengan perasaan yang tengah berkecamuk di dalam hati ibunya. Seloroh dan perkataannya sering menyudutkan Citra secara tidak langsung. Dianti pun terbawa arus pembicaraan Wiryawan.

Mbak Citra, dimana kamu, Nak? Ibu enggak tenang. Ada sesuatu yang terjadi lagi? Bagaimana Danta? Duh, semoga Allah melindungi kalian. Ibu menunggu kabarmu, Mbak Citra.

Dalam hati Untari mengalun sebuah doa untuk Citra dan Danta. Kali ini getaran hati Untari berbeda dari hari-hari sebelumnya. Jika dulu, Citra pulang malam, hati Untari tenang karena Citra selalu mengabarkan posisinya berada. Namun kini, semua akses seolah tertutup. Citra tidak ada kabar sama sekali.

Tiba-tiba terdegar berbunyi dari salah satu gawai di meja. Sebuah tanda pesan masuk. Suaranya cukup memecahkan kesunyian. Semua mata memandang ke satu titik. Gawai Andaru. Mata Untari menatap penuh pengharapan jika pesan itu datangnya dari Citra. Andaru segera melihat isi pesan. Bibirnya tersenyum saat sebuah nama muncul di layar gawai.

"Mbak Citra," bisik Andaru pada Untari.

Untari mengangguk. Kecemasan di wajahnya mulai sirna. Nasi yang sedari tadi enggan masuk ke mulutnya, kini disuapkan perlahan.

[Dek, Maafkan Mbak ya, belum bisa ikut ngumpul. Ada kerjaan yang belum selesai. Mbak harus selesaikan sebelum akhir tahun. Tolong, bilang ke Ibu, Mbak minta maaf belum bisa memenuhi kenginan beliau]

Andaru terpekur. Ada yang aneh dengan isi pesan ini. Tidak biasanya kakak pertamanya menuliskan tulisan seserius ini. Andaru juga tahu, Citra bukanlah orang yang tidak peduli pada keluarga. Apalagi pada Ibu. Segalanya ada dalam prioritas.

Ada apa dengan Mbak Citra?
Apa maksud ... keinginan Ibu? Apa Mbak Citra tahu sesuatu?

"Apa kata Mbakmu?" tanya Untari antusias.

"Ini, Bu. Anu ... Mbak Citra minta maaf tidak bisa ikut ngumpul di sini. Ada kerjaan yang belum selesai." Andaru tidak menceritakan semua isi pesan Citra pada Ibunya.

"Kerjaaan apalagi? Kemarin bilang semua udah beres. Enggak ada masalah lagi. Ini lagi, Pak Harso kemana ya?"

Andaru merasa jika ibu tengah menahan satu perasaan yang sulit diterjemaahkan. Ada amarah dan kekesalan yang bertumpuk dalam diri perempuan yang kuat dan tegas itu. Namun Ibu juga memiliki sisi rapuh dan melankolis. Obatnya hanya satu, Mbak Citra.

Warisan Untari (Complete Alias Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang