Bab 6 (1)

133 19 2
                                    

Juni 2008

       Untari terpaku di depan pintu. Gelak tawa mewarnai hati dan wajah ceria penghuni ruang tamu rumahnya. Tomy, Wiryawan, dan seorang gadis cantik dengan dandanan menyolok, mereka terlihat akrab dan bahagia. Tanpa beban.

       Mereka bahkan tidak menyadari kehadiran Untari yang sudah berdiri sesaat lamanya. Siapa gadis itu? Tawanya begitu lepas, sangat akrab dengan kedua laki-lakinya, bapak dan anak itu.

       "Eh Ibu sudah pulang," sapa Wiryawan yang pertama menyadari keberadaan ibunya. Semua ikut menoleh, tawa mereka langsung menghilang.

        Laki-laki dua puluh empat tahun itu berdiri, menyambut ibunya dengan senyum cerah. Diciumnya punggung tangan ibunya, lalu cipika cipiki.

       "Sayang sini, kenalkan ini Ibuku yang luar biasa." Sayang, Untari terkesima dengan bujangnya memanggil perempuan cantik dengan sorot mata angkuh itu. Si gadis berdiri, melangkah anggun dengan senyum manis tidak ikhlas. Itu penilaian Untari.

      "Ibu, ini Amira, pacar Awan." Untari bergeming, matanya tidak lepas mengawasi gadis yang sudah berdiri menjulang di depannya.

       "Selamat sore Tante, aku Amira," Gadis bernama Amira itu mengulurkan tangan, mengajak berjabatan tangan. Untari masih diam, tangannya masih melenggang bebas di samping tubuhnya.

      Aku?? Tidak salah dengarkah? Etika macam apa yang diajarkan kedua orangtua gadis ini, tidakkah dia tahu menggunakan kata ganti yang benar kalau bercakap-cakap dengan orangtua?

      Meski hanya lulusan SMEA, Untari ingat betul etika berbahasa yang diajarkan waktu sekolah dulu.

      "Ibu," senggolan tangan Wiryawan menyadarkan perempuan 54 tahun itu.

      "Oh maaf, saya Untari. Ibunya Wiryawan," jawabnya sopan. Tangannya terulur menyambut tangan putih mulus di depannya. Untari menerima ciuman pipi Amira dengan wajah datar.

      "Kata Bapak, Ibu ada rapat dengan walikota ya?' Untari mengangguk, membenarkan informasi dari suaminya.

      "Ibu masuk dulu ya. Kalian lanjutkan saja ngobrolnya," pamitnya dengan senyum tersungging dibibir. Amira kembali tersenyum, lagi-lagi Untari melihat sebuah senyum terpaksa.

       Untari langsung masuk ke kamar, meletakkan tas di atas nakas, mengambil baju ganti, lalu masuk ke kamar mandi. Menguyur tubuh lelahnya, karena aktivitas padatnya hari ini.

      Persaingan bisnis batik makin tinggi, kompetitor makin gila-gilaan. Diperlukan kerja keras agar Rumah batik Kencana tetap bertahan. Ada ribuan mulut yang menggantungkan hidupnya pada usaha mereka. Untari tidak boleh lengah, seandainya saja. Ah.. tidak perlu berandai-andai. Faktanya, suaminya lebih suka menjadi penonton, tinggal menunggu hasil pertandingan dan menikmatinya.

       Keluar dari kamar mandi, Untari hanya memakai daster dengan rambut ditutup handuk.

     "Caramu menyambut calon menantu sangat tidak sopan. Begitu dulu orangtuamu mengajarimu?" Untari melonjak kaget. Handuk di atas kepalanya hampir saja jatuh.

      "Aduh Mas, bikin kaget saja!" Laki-laki itu diam saja. Hanya pandangannya yang menatap tajam istrinya.

       Untari tidak peduli dengan tatapan itu. Sudah banyak hal yang dipikirkannya hari ini, malas harus menanggapi sikap menuntut suaminya. Untari duduk di meja riasnya, perlahan melepas handuk, lalu mencoba mengeringkan rambutnya.

        Merasa diabaikan, Tomy berdiri mendekati Untari, dan menarik kasar handuk tersebut.

      "Njnemegan ini kenapa? Sakit tahu!" Bentak Untari kesal. Biar saja dianggap tidak sopan dengan suami. Laki-laki itu juga gak pantas dihargai.

Warisan Untari (Complete Alias Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang