Bab 9 (1)

124 16 0
                                    

Kepulangan kembali Wiryawan dan keluarganya ke rumah Laweyan disambut biasa saja oleh penghuni rumah lainnya. Untari, Andaru, dan Dianti menganggap tindakan Wiryawan yang gegabah bukan hal yang aneh dan baru. Seringkali anak laki-laki pertama Untari itu pergi dari rumah tapi kembali lagi jika uang sudah habis atau ada yang diminta.

Sementara bagi Citra, kedatangan Wiryawan kembali ke rumah setelah meneleponnya dirasakan sedikit aneh. Dalam dua hari ini dia banyak merenung. Namun,  tidak ada yang bisa menjelaskannya. Mbok Jum dan Sumirah selalu menjawab tidak tahu jika ditanya. Semuanya bungkam. Citra mencoba mencari jawaban lewat pemikiran sendiri. Sayang, hasilnya tidak ada kepastian dan menggantung. Hanya saja, perempuan ini sempat merasakan ada yang berbeda. Kepergian Wiryawan yang tiba-tiba, sikap Dianti yang menunjukkan permusuhan, ditambah satu lagi, laporan Danta kepadanya setelah mandi sore beberapa jam sebelumnya.

Sore itu, semua keluarga berkumpul di ruang keluarga. Untari tergelak bahagia saat bercanda dengan cucu-cucunya. Wiryawan, Andaru, Dianti, Amira, dan Arsanti pun berada di sana. Citra hendak bergabung tetapi Danta mencegatnya.

"Bun, sini deh!" panggil Danta sambil menarik tangan Citra untuk menjauh dari ruang keluarga.

"Ada apa, Mas?" tanya Citra heran
Tidak biasanya Danta seperti itu. Namun, rasa penasaran memenuhi rongga dadanya. Danta membawanya ke ruangan baca yang terletak di samping ruang keluarga.

"Tadi, waktu Danta bantuin Eyang di kantor, pintunya tiba-tiba ada yang membanting. Kencang sekali. Eyang sampai kaget, dadanya naik turun."

"Mas tau dari mana ada yang membanting?"

"Kan Danta lihat orangnya. Waktu abis dibanting itu, Danta buru-buru lari buka pintu."

"Mas tahu siapa orangnya?" Citra penasaran.

Anak laki-lakinya mengangguk. Citra melihat ada perubahan pada air muka putranya. Dielusnya kepala Danta dengan lebut

"Siapa, Mas?"

Danta kemudian mengedarkan pandangannya. Seolah-olah takut ada orang lain yang menguping pembicaraannya. Lalu dia membisikkan sesuatu. Mata Citra melotot. Dia menutup mulut dengan jari-jarinya. Tidak percaya dengan apa yang didengar barusan. Rasanya tidak mungkin orang yang baru saja dibicarakan Danta berbuat senekat itu.

Ditatapnya mata Danta. Dari beningnya manik berwarna cokelat tua itu, Citra bisa melihat kejujuran putranya. Danta bukan anak yang suka membual. Putranya orang yang lugas dan jujur. Nilai ini yang sering ditanamkan sejak dulu. Budaya terbuka dan bercerita dengan apa yang dilihat dan dirasanya selalu ada di antara ibu dan anak ini. Maklum, Citra hanya memiliki Danta tempatnya berbagi setelah Untari. Hanya saja, Citra tidak menduga jika Wiryawan berani berbuat seperti itu. Citra tahu bagaimana Wiryawan, tapi untuk berbuat seperti itu aneh rasanya.

Apa ada yang disembunyikan Ibu dan adik-adik? Kenapa Wiryawan setega itu terhadap Ibu? Apa yang tidak aku ketahui?

Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepala Citra. Perempuan itu menghela napas. Tatapannya jauh melihat langit malam tanpa bintang dan rembulan. Udara terasa dingin menyentuh kulitnya.

"Mbak Citra, waktunya makan malam. Kok malahan sendirian di beranda?"

Suara Arsanti membuyarkan lamunannya. Citra menggeragap. Kesadaran kembali. Dia baru ingat, setelah salat Magrib dan membaca Alquran, kakinya melangkah menuju teras. Pikiran telah membawanya ke tempat yang sunyi. Dia ingin mencari jawaban atas pertanyaan yang menggelayut beberapa hari ini.

"Oh, Mbak tadi kegerahan, Dek! Abis salat keluar nyari angin segar. Mbak jadi ingat Mas Danang, dulu kami sering melewatkan malam berdua mencari angin."

Citra mencari alasan. Sayang, saat menyebut nama Danang, hatinya terasa sembilu. Ada kesedihan merayapi dinding hatinya. Batinnya nelangsa. Andai saja Danang masih ada, mungkin beban di hatinya bisa dibagikan dengan laki-laki baik itu.

"Ya udah, jangan sedih dong. Waktunya makan malam. Mbak tau sendiri kan, ibu maunya kalau makan malam semua berkumpul."

Belum juga Citra mengangguk, terdengar suara Untari yang memanggil Citra dan Arsanti untuk makan. Arsanti menunjuk tangannya dengan pandangan jenaka.

"Benar kan kataku, ibu udah memanggil tuh!"

Citra dan Arsanti kemudian tertawa kecil. Mereka kemudian beranjak menuju ruang makan. Di sana sudah berkumpul semua dan mulai menyantap makanan.

"Dari mana, Mbak? Kok baru kelihatan? Ibu pikir kamu ke luar sebentar?"

"Anu, Bu ... Mbak Citra lagi kangen sama Mas Danang. Makanya tadi duduk di beranda depan." Arsanti yang menjawab.

"He he ... nyari angin dikit, Bu. Tadi gerah abis salat."

"Makan yang banyak, Mbak. Lihat! Badanmu kurus sekarang. Jangan capek-capek."

Nasihat Untari kepada Citra ditanggapi cibiran oleh Dianti. Andaru menggelengkan kepalanya. Suasana kembali sunyi.

Citra kemudian duduk di sebelah Danta yang berada di sisi kiri Untari. Sedangkan Wiryawan, Amira, dan anak mereka di sisi kanan Untari. Keluarga Andaru sejajar dengan Citra,  Dianti dan anaknya tepat di seberang Andaru. Suami Dianti belum pulang ke Solo, rencananya akan menyusul tiga hari menjelang pergantian tahun.

Belum lama Citra duduk, terdengar suara Amira memecah kesunyian. Padahal sebelumnya hanya suara sendok beradu piring yang terdengar.

"Mbak Citra sekarang sibuk banget ya? Biasanya paling rajin bantuin Mbok Jum dan Sumirah menyiapkan makan malam dan sarapan. Udah enggak sempat?"

Pertanyaan Amira seperti sebuah sindiran.
Citra tersenyum. Baginya sudah tidak aneh lagi mendengar omongan Amira yang ceplas-ceplos tanpa disaring terlebih dahulu.

"Hati-hatilah, jangan sampai ambisi pribadi menutup hak orang lain. Bener enggak Dek Anti?"

Tiba-tiba Wiryawan berbicara tanpa sambil berdiri mengambil sayuran di mangkok besar yang terletak di tengah meja. Dianti mengiyakan. Untari diam dan menatap ke arah depan. Wajahnya menyiratkan ketidaksukaan pada ucapan Wiryawan dan Amira.

Andaru berdeham. Suasana di ruang makan mulai tidak nyaman baginya. Diliriknya Arsanti yang tengah menawarkan bakwan jagung pada Satria.  Amira tetaplah Amira. Dia tidak peka dengan tatapan Untari dan dehaman Andaru. Baginya, apa yang ada dipikirannya harus dikemukan walaupun bukan di waktu yang tepat. Aturan yang dibuat Untari di keluarganya dianggap hal yang menjemukan dan terlalu mengekang kebebasan.

"Denger-denger Mbak Citra dapat orderan besar dari Dinas Pendidikan Sukoharjo ya? Wah, pastinya dapet untung banyak dong. Tuh uangnya buat dipakai apa, Mbak?

Pertanyaan bodoh dan tolol, runtuk Untari dalam hati. Kesabarannya sedang diuji. Tangannya yang memegang sendok untuk menyuapkan sayur urung dilakukan. Disimpannya dengan kasar hingga beradu dengan piring.

"Dalam budaya keluarga kita, saat makan adalah saat berkumpul yang menyenangkan. Makan sesederhana  apa pun akan terasa nikmat. Begitu yang diajarkan secara turun-temurun dari orang tua kita yang megang adat Jawa.

Oh ya Amira, kamu  masih suka ikut pengajian dengan teman-temanmu? Bukankah  dalam agama mengajarkan
untuk menjaga adab berbicara ketika makan, tidak sampai melebihi batas. Apalagi membuat orang lain tidak nyaman untuk makan."

Ucapan Untari yang pelan tapi tegas berhasil membungkam mulut Amira yang hendak bersuara lagi. Untari kemudian melanjutkan menyuapkan sup ke mulutnya seolah-olah tidak ada masalah sebelumnya. Amira mendelik. Wajahnya memerah menahan malu dan juga amarah. Tangannya diam-diam mencubit paha Wiryawan meminta dukungan. Laki-laki itu mengerti dan mencoba membela istrinya. Sayang, tatapan tajam Untari mampu membuatnya tidak berkutik.

Warisan Untari (Complete Alias Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang