Bab 20 (2)

160 23 4
                                    

Solo, 30 Desember 2019

      "Sugeng enjang Bu," Laki-laki berambut cepak itu berdiri, menunduk hormat begitu Untari masuk.

       "Selamat pagi. Sinten ngih?" Tanya Untari dengan dahi mengernyit. Hari masih terlalu pagi untuk bertamu, tetapi laki-laki tamunya itu memilih waktu tidak layak itu. Matahari bahkan belum menampakkan sinarnya yang garang.

      Mata tuanya mencoba mengenali laki-laki di depannya. Badannya tinggi menjulang, dengan rambut pendek terlihat seperti tentara. Untari agak sulit mengenali karena laki-laki itu menunduk, gelisah. Gestur tubuhnya tidak sesuai dengan bentuk badannya yang kekar.

       "Nyuwun pangapunten, panjenengan menika sinten ngih?" Tanyanya mengulang.

      Perlahan Nala Sasmita mengangkat kepala, menatap perempuan tua didepannya. Kedua tangannya saling menopang di depan tubuhnya yang masih sedikit menunduk. Untari mencoba kembali mengenali tamunya dengan seksama

       "Sik sik.. opo bener iki mas Nala?" Tanya Untari tidak yakin, yang ditanya mengangguk sopan.

        Nala maju selangkah, tangannya terulur mengajak bersalaman. Untari menyambut uluran tangan itu. Dijabatnya tangan laki-laki muda yang dikenalnya puluhan tahun lalu dengan erat. Tanpa diduga, Nala mencium punggung tangan tua yang mulai keriput itu. Untuk beberapa saat lamanya, laki-laki itu masih diam dengan tindakannya.

       Untari menepuk punggung sahabat anak sulungnya itu. Dadanya bergetar, kerinduan pada sang putri kembali mengejar. Kemana kamu Nduk, ini Nala ada di sini. Sahabat yang kamu cari karena menghilang dulu sudah kembali.

       Untari bisa menahan diri, untuk tidak menangis. Perempuan enam puluh lima tahun itu sudah terbiasa menghadapi berbagai macam situasi.

      "Kemana saja Kamu Mas, Citra bingung mencari kamu." Tubuh Nala menegang. Citra mencarinya? Nala bisa membayangkan, Citra kebingungan ketika dia menghilang. Untari tahu kebingungan anak gadisnya, jelas itu karena kedekatan ibu dan anak itu. 

      Perlahan tubuh kekar itu kembali tegak, dengan kepala menunduk. Nala melepas genggaman tangan perempuan yang selalu menerimanya dengan baik.

       "Maaf Bu, saya.." Nala bingung melanjutkan jawabannya. Untari tersenyum.

      "Duduklah! Sebentar Ibu minta mbak Sum siapkan minum untukmu,"

       "Tidak perlu repot-repot Bu, saya hanya..."

       "Koyo karo sopo Mas!" Pernyataan santai Untari membuat dada Nala Sasmita sakit.

      Untari dan Citra memperlakukannya dengan sangat baik. Mereka menganggapnya ada, meski dia bukan siapa-siapa dibanding keluarga kaya itu. Apalagi di depan Citra, perempuan itu masih keturunan ningrat dari pihak kedua orangtua kandungnya.

       Sebelum Untari sempat berdiri, seorang perempuan muda masuk dengan dua cangkir teh panas. Mungkin perempuan itu bernama mbak Sum, Nala tidak mengenalnya. Laki-laki itu hanya mengenal Mbok Jum, pembantu yang dulu sering membuat minuman dan makanan kecil untuk mereka.

      "Matur nuwun," katanya sebelum si mbak pergi. Perempuan itu tersenyum, lalu menghilang.

       "Ayo diminum, ben enak ngobrol e." Untari mempersilakan tamunya minum. Nala mengangkat minumannya, mencecapnya sedikit. Aroma dan rasa teh khas keluarga ini, membawanya kembali pada masa kecilnya dulu.

       Hampir setiap Sabtu, Citra mengajaknya bermain ke rumah. Dengan senang hati Nala menerima undangan itu. Mereka  bermain bersama ketiga adik Citra yang masih kecil. Dari hanya ada Wiryawan dan Andaru, sampai lahir Dianti ketika mereka kelas 3 SMP. Nala tidak keberatan membantu Citra menjaga adik-adiknya, terkadang Nala membawa Bara adiknya yang seusia dengan Wiryawan.

Warisan Untari (Complete Alias Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang