Bab 3 (1)

160 22 1
                                    


20 Desember 2019

     Senja menjelang. Kesibukan kota dan penghuninya sedikit meredup. Tidak ada lagi hiruk pikuk membalut Solo, yang menurut survey adalah kota terbesar ketiga di pulau Jawa bagian Selatan, setelah Bandung, dan Malang. Semua kembali ke rumah, tempat dimana cinta dan harapan menepi. Begitu juga dengan keluarga Untari.

     Setelah melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba Allah dan bermunajat kepada-Nya, Untari bersiap berkumpul dengan keluarganya. Kerinduan pada cucu-cucunya membuat perempuan ini menyelesaikan bacaan kitab sucinya.

      Untari menatap cermin.  Kerut-kerut di wajahnya semakin jelas terlihat. Perjalanan waktu telah mengikis raga dan sisa umur yang telah diberikan Tuhan. Rambutnya yang dulu hitam legam berubah memutih dan tipis. Tangan halus dan kencang kini semakin berkeriput juga lemah. Badannya pun mulai ringkih. Walaupun kecantikan alami yang paripurna dari zaman gadis masih tetap terpancar. Perempuan Jawa itu mengela napas. Kejadian siang tadi cukup membuatnya sedih.

      Ketukan halus terdengar dari arah pintu. Untari menoleh dan mendekati. Lalu dibukanya perlahan. Seraut wajah tersenyum padanya. Sumirah, salah satu pembantu di rumah.

      "Bu, mohon maaf. Makan malam sudah siap. Mbak Anti sama anaknya sudah menunggu. Begitu juga sama keluarga Mas Ndaru. Mereka menunggu Ibu."

      "Mas Wawan?"

     "Tadi waktu Mirah naik ke kamar Ibu, Mas Wawan sama keluarganya belum kelihatan. Mungkin sekarang sudah ada."

     Jawaban Sumirah membuat kening Untari berkerut heran. Namun, dia tidak ingin bertanya lagi walaupun hatinya cukup penasaran. Untari mengangguk kemudian berjalan dan diikuti Sumirah.

       Setelah kejadian pelemparan vas tadi, Untari memang tidak keluar kamar lagi. Siang tadi sempat tidur sebentar untuk melepaskan beban yang menghimpit. Sore setelah mandi, Untari menghabiskan waktu seorang diri di kamar sambil memeriksa beberapa laporan dari staf gudang.

       Dia bersyukur, grafik penjualan kain batik tulis dan batik cap masih stabil bahkan di beberapa tempat penjualan ada kenaikan omzet yang cukup signifikan. Selain itu ada laporan dari manager baru yang memegang anak perusahaan yang beberapa bulan lalu diresmikan. Cukup menakjubkan. Sebuah outlet pakaian siap pakai dengan desain modern di sebuah mall pusat kota ternyata laris manis dan diburu banyak perempuan modern. Menurut survey, pembeli kebanyakan para wisatawan dari luar daerah yang datang ke Solo.

       Di ruang makan, Untari hanya mendapati keluarga Andaru serta Dianti dan anaknya. Mereka semua menunggu kedatangannya untuk makan malam bersama. Namun, suasana terasa hambar. Sumirah dan Mbok Jum, pembantu sepuh, menghidangkan makanan kesukaan Untari. Rawon dan tempe bacem.

       Dianti yang biasanya ramai kini diam, sesekali menyuapi anaknya. Hanya Andaru yang bersikap biasa dan menatapnya hangat. Begitu pula dengan Arsanti, istri Andaru yang cantik dan lembut. Bahkan, perempuan berwajah sedikit oriental itu menarik kursi yang menempel pada meja agar bisa diduduki oleh ibu mertuanya.

      "Terima kasih, Arsanti!" kata Untari sambil menatap wajah menantunya.

       Arsanti mengangguk sambil tersenyum. Tangannya yang lentik meyiapkan piring dan sendok di hadapan Untari.

      "Ibu mau minum apa? Teh atau air putih? Nanti Santi yang bawain."

     "Ibu mau air putih hangat aja, Nak! Tenggorokan ibu rasanya sedikit seret."

     "Baik, Bu!" Arsanti kemudian dengan cepat mengambil air dari dispenser. Satu gelas air putih hangat berukuran sedang kini sudah tersimpan di samping piring.

Warisan Untari (Complete Alias Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang