7. Empat untuk Azel

30 5 2
                                    

Sekali lagi langit kelabu, namun hujan tak kunjung datang, bumi diselimuti hawa dingin mencekam.

Pukul 09.54
Persidangan dihentikan, mungkin dilanjut di waktu yang akan datang. Aku tertawa renyah membuka kembali selebaran rapih, berita keberangkatan seorang pria menuju sisi lain samudra, yang tak lain adalah ayahku.

Aku benar benar sendiri kali ini, singkatnya... rumah -kastil hancur- pewarisan kakek, kembali diambil alih oleh keluarganya yang sah kata mereka, kemudian mengusirku dengan kejam, lupa bahwa dalam darahku mengalir salah seorang keturunan tercela mereka.

Hidup ini memang konyol bukan?

Aku memandang kembali arloji lama peninggalan ibu dahulu, pukul 10.02, kenapa waktu terasa begitu lambat?

"Permisi... "

Aku mengangkat kepalaku, mencari sumber suara. Terlihat seorang bocah mungkin seusiaku, berkacamata bundar dengan penutup rambut sederhana namun menggunakan mantel yang tebal nan berkilau dikala dinginnya cuaca ini.

Aku mengerutkan kening, siapa?

"Saya dari penerbit koran harian, boleh minta waktu untuk wawancara cuaca?"

Aku mengangguk saja, lagipula apa sulitnya menjawab cuaca harian, angin dan beragam pertanyaan yang mungkin menyebalkan.

"Boleh sebutkan namanya? "

"Ehh... Saya Azel, Azalea Lesrain,"

"Oke, tunggu...eh, kamu bilang namamu Azel? Apa tadi... Azaeeela? "

"Ya.. Azalea"

"Astaga...! "

Bocah itu nampak girang, ia meletakan pena dan buku di teras sebelah tempat ku duduk. Lalu ia membuka penutup kepala dan kacamatanya, terlihat rambut ikal seleher menggantung dari kepalanya, wajahnya cerah denyan senyum menunjukan dia ramah, seketika aku merasa tak asing.

"Kau lupa zel? "

Tanyanya sembari menjulurkan tangan padaku.

"Lupa apa? "

"Duh... Ya sepertinya lupa. Baiklah... Singkatnya ini aku Laurie Eiffigh, sepupu vyolla, dan bocah culun yang dulu senang kau lempari bola salju dari jalanan dimanapun kita bertemu."

Bola mataku membelalak, kemudian tertunduk malu, tentu saja aku ingat! Bocah ini adalah bocah yang sama yang berkali kali kubuat menangis. Kenapa dia ada di sini duh.

"Ingat kan... Ahahahah"

Dia tertawa renyah, lalu tersenyum melihatku, yang menundukan kepalaku ke arahnya dengan malu. Tentu dia ingat!

"Jadi... Apa kabar? "

"Yah... Tidak banyak hal baik yang terjadi belakangan ini... "

"Aku turut berduka mengenai kakekmu, juga ayahmu... Dan semua yang harus kau lalui dari sekarang"

Ia tersenyum tulus, segaris lesung terlihat di pipinya, diantara jatuhan lembut rambut ikal hitam legam.

"Azel...bibi rasa... Eh, siapa dia? "

Kami berdua kompak menoleh, bibi May tampak mengerut lalu memakai kacamata kecil yang selalu ia bawa kemanapun pergi.

"Kamu anak koran? "

Tanya bibi May setelah beberapa detik menginvestigasi.

"Ya... Saya disini... "

"Mohon maaf, Azalea belum bisa memberi keterangan apapun, jadi saya mohon agar kamu tidak menulis berita apa apa tentangnya, kami pamit undur diri"

Bibi May menarikku agar segera pergi dari tempat itu, aku tersenyum kecut.

"Sampai nanti Azalea... "

Aku mengangguk. Laurie mengambil kembali penutup kepalanya dari kantong. Memustuskan menyembunyikan rambut ikalnya dari dunia.

~

Suara roda berputar, kuda meringik seiring dengan ketukan kaki yang berirama. Namun tidak mampu menghentikan pikiran ku mengenai persidangan tadi. Yah ayah macam apa yang pergi begitu saja?

Aku meringis mengingat kejadian di dalam aula, ketika pengacara itu selesai menghina, yah... Tanpa pikir panjang aku merengsek dari kursi tempat ku duduk, menghantamkan tinju kecil tepat di wajahnya yang menjijikan.

Aku tidak punya tujuan, kemana perahu kecil ini kini harus berlabuh? Tembok mana yang akan mengijinkannya bersandar? Tangan tangan siapa yang akan menguatkan.

Aku tidak boleh menyerah, tidak sekarang. Apapun yang terjadi aku harus memenangkan persidangan ini, jika dunia tidak mau peduli. Maka biarkanlah aku mengetahui dalang pembunuh tanpa hati.

Satu jam berlalu dengan bisu.
Bibi May memutuskan tidak nembicarakan kejadian di persidangan, aku tahu dia ingin menguatkanku namun dirinya sendiri nampak terluka.

Tiba tiba bibi May meminta kusir untuk mengehentikan kereta, aku yang baru terlelap, setengah sadar, mencoba mencari tahu kemana bibi May pergi.

Selang waktu 5 menit ia kembali, membawakan sebuah kotak sedang dengan warna kebiruan yang lembut.

"Apa itu bibi May? "

"Untukmu, bukalah... "

Aku perlahan menarik lembut sebuah pita yang mengikat kuat. Menyisakan sebuah kotak persegi sempurna dengan wangi yang sangat akrab di indra penciumanku.

"Blueberry cake!??"

Aku menatap bibi May sembari tersenyum lebar.

"Ya... Azel ku sudah melalui banyak hari berat belakangan ini, setidaknya kita harus meyisipkan hal hal manis agar tetap kuat"

Dadaku sesak oleh haru, bibi May benar, maka aku berjanji pada diriku untuk menjadi seorang gadis yang kuat nan mandiri.

~

Langit telah jatuh terlelap, bagai kelopak mata tertutup semuanya gelap, menyisakan kota diguyur hujan untuk pertama kalinya sepanjang tahun ini.

Bibi May mengajakku menginap di panti yang beliau kelola, tadinya ia ingin menaruh ku di rumahnya namun letaknya jauh, aku tidak ingin dia sakit nantinya dengan segala yang telah ia lakukan untukku, aku sampai harus memaksa agar dia memutar arah menuju panti tersebut.

Yah... Pukul 19.24
Panti masih ramai dengan anak anak yang berkerumun di ruang makan, satu dua dari mereka tersenyum menyapa, yang lainnya tidak peduli, sibuk dengan aktifitasnya.

"Azel sayang, tunggu disini bibi akan carikan kamar yang kosong"

"Tentu, terimakasih bibi May... "

Bibi May tersenyum, aku melihat langkah kakinya menaiki anak tangga satu demi satu, sementara beliau ke atas, aku memutuskan untuk menyusuri ruangan ini, mungkin aku bisa menemukan orang untuk diajak berbincang.

DEAR USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang