8. Empat dari Levi

17 4 0
                                    

"Ibu?.. "

"Sini nak... "

"Ibu dimana.. "

"Jalan terus nak... Jangan berbalik"

"Ibu... "

"Sedikit lagi sampai"

"..."

Suara lonceng terdengar memekakkan telinga, membangun kan seorang pemuda 17 tahun dari buaian bunga tidur.

Aku mengusap wajahku dengan kedua tangan, lantas memukul keras ranjang kayu tempat ku melepas lelah 13 tahun ini.

Lagi lagi mimpi itu, selalu sama, berakhir tanpa kata.

Pukul 08.34
Sialan, kenapa sesiang ini aku baru terbangun?

Aku mengambil jaket kumal yang selalu kugantung di tembok seadanya, pagi ini terlihat cerah, mentari berbaik hati memberikan cahaya nya.

"Hai Levi.. "

Aku menoleh, dia Austin, anak yang 3 bulan terkhir ini mencoba mengekori ku bagaimanapun caranya.

Aku mendonggakkan kepala, apa?

"Yah... Kudengar ada beberapa pedagang baru di dekat dermaga, mungkin kau dan aku mau mencoba..."

"Maaf.. Aku tidak sempat"

"Hei hei.. Aku janji aku yang bayar, kau hanya perlu ikut denganku, ya? "

Aku menatapnya dengan ekspresi kesal, masa bodohlah.  Bocah 11 tahun itu tampak memelas, ia ingin sekali pergi ke dermaga.

Oh iya.. Austin menderita cacat, ehm.. Entah apa nama penyakitnya, yang kutahu dia harus memakai tongkat bodoh itu seumur hidup.

Beruntung, dia memiliki wajah yang cukup tampan, sehingga banyak yang merasa iba semenjak ia datang ke panti ini, artinya.. Semakin banyak orang menyukaimu semakin kau dapat uang, gratis.

Bahkan katanya sudah ada orang yang berniat mengadopsi bocah itu, namun entah kenapa ia memilih berdiam di panti padahal kehidupan mudah menanti di depan matanya.

"Baiklah,"

Untuk sekali ini saja.

Aku berjalan di belakang Austin, dia tampak girang bahkan kaki kaki nya yang lemah terus mekangkah, aku bisa merasakan bahwa ia... Bahagia.

Sementara aku berjalan di belakang nya. Terlihat burung camar berterbangan indah, begitu bebas, begitu mulus. Aku tersenyum kecut, begitulah cara orang melihatku, bagaikan burung bebas yang terbang lepas, aku melakukan hal sekehendak diriku, namun apa yang terlihat mata kebanyakan menipu, nyatanya aku hanya seorang pemuda terperangkap, yang tidak memiliki semangat kecuali untuk hidup satu hari lagi, setiap hari selama 17 tahun.

Austin tidak bisa menahan senyumnya, rambut kecoklatan ikal itu bergoyang, seiras dengan bunyi tongkat yang menopang salah satu kakinya.

"Levi... Kau mau es krim? "

Aku menoleh, kami berhenti sejenak, bocah itu memusatkan pandangannya pada sebuah gerobak di pinggiran pembatas jalanan.

"Iya.. Kau duluan"

Sekali lagi dia tersenyum, berkata 'yes!' kecil kemudian beranjak mengayunkan tongkatnya dengan bersemangat.

Aku tertawa melihat tingkahnya, tawa pertama  setelah semua yang kulalui.

~

"Levi.. Setelah kau besar nanti mau jadi apa? "

DEAR USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang