9. Lima untuk Azel

12 3 0
                                    

Meskipun siang sudah berganti, dan bintang mulai menunjukan cahaya, serta pintu pintu kamar panti sudah tertutup. Aku masih bisa mendengar suara anak anak yang sedang bercengrama.

Mungkin karena peraturan panti yang cukup ketat, mereka berbincang sembari sembunyi. Bagaimanapun aku harus bisa menyesuaikan diri karena mungkin aku juga akan tinggal disini, tidak lama lagi.

Aku berjalan naik ke lantai atas karena kamar yang disiapkan untukku ada di sana, tapi tiba tiba seseorang menabrakku dari arah berlawanan.

Aw... aku terjatuh bersaman dengan sikutku yang membentur tangga, rasanya sungguh ngilu. Belum lagi pakaian yang kupakai terinjak olehnya, membuatku sulit berdiri.

Aku menggumam sembari melotot pada seorang laki laki berambut pirang di depanku.

"Hei.. Bisa tidak kau tidak berlari di tangga,"

Ekspresi wajahnya tampak kesal, namun sepertinya ia tidak peduli dan segera beranjak.

"Hei.. Kau tidak dengar?"

Aku menahan nafas, jujur saja aku merasa sangat sebal belum lagi rasa sakit ini.

"Heii.. Dasar tuli"

Itu dia. Akhirnya dia berbalik, beberapa saat kemudian dia membuka mulutnya, mengucap beberapa kata yang membuat kepalaku mendidih.

"Aku tidak tuli nona, dan aku yakin kau bukan penghuni panti ini yang terbiasa dengan hal sepele itu, aku mohon maaf, tapi aku tidak punya waktu, permisi."

Wah... Sialan, aku memegangi pergelangan kakiku yang juga terasa ngilu. Berani sekali dia, menyebalkan.

~

Sembari tertatih aku melanjutkan berjalan ke atas, namun langkahku terhenti ketika merasakan hembusan angin dari lorong, aku memutuskan untuk melihat lihat sebentar, lagian penghuni panti juga sudah 'terlelap'.

Diantara hembusan angin malam, dan semerbak bunga. Terhampar ratusan bahkan lebih batu batu kerikil di balkon yang di atasnya di penuhi beragam pot berisi bunga. Mataku menemukan sebuah kursi berbentuk bulat, di sudut kanan balkon.

Aku berjalan dan duduk disana, seketika aku merasa takjub, dihadapanku sejauh mata memandang adalah pemandangan Kota Eddensburgh. Yah kota kecil tempat aku tinggal ini.

Gemerlap lampu terlihat, namun seiring naiknya malam cahaya buatan itu berkurang hingga menyisakan kicau para penghuni malam.

Rasanya tentram, sejuk. Tubuhku serasa dibelai angin, hingga perlahan tanpa sadar mataku terpejam.

~

Sebuah suara membangunkanku, oh tidak jam berapa sekarang ini?

Aku bisa merasakan langkah seseorang mendekati balkon, meski samar aku tahu itu adalah langkah kaki.

Dengan cepat aku bersembunyi di balik tembok tinggi di sisi lain balkon, sembari terpaksa melupakan sejenak rasa sakit yang menjalar di sikut tangan dan pergelangan kakiku akibat jatuh di tangga tadi.

Senyap, hingga terdengar sebuah suara bertanya pelan.

"Tidak bisa tidur?"

Aku menelan ludah, apa aku ketahuan?

"Tenanglah, aku pun kesini ingin kabur, tidak buruk bukan?"

Jelas sekali itu adalah suara laki laki. Tapi aku tidak dapat melihatnya, tertutup oleh dedaunan, namun sepertinya ia juga tidak melihatku.

Setelah beberapa saat, Akhirnya aku memberanikan diri bertanya sembari diam di balik tiang, mematung.

"Kenapa kau kabur?"

"seminggu ini banyak hal terjadi, aku merasa lelah. Semuanya terasa buruk..."

Asal dia tahu, hariku seminggu terakhir ini juga begitu.

"Bagaimana dengan kau?"

Aku menelan ludah, bisakah aku bercerita padanya? Yah lagian kami tidak bisa melihat satu sama lain.

"Aku baru saja kehilangan satu satunya keluarga beberapa hari yang lalu... Meski yahh kami tidak begitu akrab, tapi aku tetap merasa kehilangan..."

Tidak kusangka, kata kata itu mengalir begitu saja, bersamaan dengan tubuhku yang bergerak duduk di ubin balkon.

Kata kata berikutnya perlahan terpancing keluar, kami bercerita banyak tentang satu sama lain, aku bercerita tentang kaburnya ibuku, lalu kepergian ayahku. Tapi aku tidak bilang padanya bahwa kakekku mati karena pembunuhan, terlalu beresiko.

Dia bercerita bahwa dia adalah seorang anak yatim piatu dari kecil, dia dibuang sejak lahir dan... hanya itu saja selebihnya tidak ada yang istimewa.

Tidak terasa sudah berjam jam kami bercengkrama mengobrol tanpa tahu identitas masing masing. Hingga akhirnya dia menutup percakapan, dan pamit duluan.

Sepertinya dia berpikiran sama denganku, ingin bercerita dengan bebas tanpa mendapat penghakiman. Sederhananya kami hanya ingin tulus didengar.

Setelah suara langkah kaki Itu menjauh dan akhirnya menghilang, aku mengendap ngendap memastikan tidak ada siapapun, kemudian berjalan cepat menuju ruangan atas untuk melanjutkan tidur.

Hariku terasa sedikit membaik, rasanya seperti beban itu perlahan naik dan hatiku mulai terasa lapang.

Malu untuk kuakui namun jujur saja aku penasaran juga, siapa dia?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DEAR USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang