Langit terus mendung, menangis tak kunjung. Jam dinding di ruangan ku menunjukan pukul 18.00 tepat. Sementara dibawah tengah ramai sepertinya, perbincangan hangat seusai makan malam.
Aku mengeluarkan secarik kertas dari saku jaket kumal yang seharian ini kupakai, sudah kubaca berulang kali, aku tetap tidak menyesal.
Haha... Kertas ini, dari gadis itu.
Malam ini biarkan aku berbagi sepotong duka, dari seorang bocah lugu putus asa, yang berharap pada malaikat tanpa sayap.
7 tahun lalu, panti yang sama.
Kami semua berkumpul dalam satu aula, saat itu makan malam sedang berlangsung dan aku memisahkan diri seperti biasanya.
Entah... Anak panti lain menganggapku aneh, rambutku yang pirang blonde dan rambut mereka yang hitam juga coklat lalu mataku yang biru menyala dan mata mereka yang sama tak jauh dari coklat hitam, dan secara tidak langsung aku diasingkan.
Ketika semua tenggelam dalam kericuhan tak bertuan, bunyi nyaring sendok yang saling diketukkan menghentikan.
"Pengumuman semuaa...! Harap tenang... "
Aku tak berniat menoleh sedikit pun.
"Hari ini kita semua kedatangan pengurus panti yang baru, perkenalkan dia adalah Madame May..."
Seruan tertahan, wajah wajah penasaran, juga anak pendek berusaha berdiri melihat.
Aku tidak begitu menyimak mengenai apa yang disampaikan pengurus panti baru tersebut, apapun yang disampaikannya tidak akan mengubah hidupku.
Namun... Di saat terakhir, aku menyesal, menyesal karena memutuskan menoleh dan melihat dia. Seorang gadis, yah... Klasik rambutnya sama denganku, dengan kepangan manis terjuntai di bahu bahkan matanya... Matanya berwarna emas, tuhan... Aku tidak pernah melihat mata itu.
"Bersamaan dengan datanganya Madame May, kita kedatangan anggota baru, namanya Letuilla Grech dia datang jauh dari seberang kota. Kami harap kalian dapat menerima dia, menjadi anggota keluarga baru,"
Aku tidak menyangka, akan butuh lebih dari 1 tahun, bahkan bertahun tahun untuk hanya melupakan nama itu.
Entah angin apa yang berbisik padanya sehingga ia duduk di mejaku, wajahnya selalu tertunduk, mata nya sayu menyimpan berjuta rahasia, aku masih 10 tahun kala itu, tentu aku tidak tahu harus berbuat apa, bersosialisasi pun aku tak pandai.
"Eh.. Maaf, boleh saya duduk di sini? "
Gadis itu mendadak bersuara, aku terlonjak kaget, malu karena sedari tadi memperhatikannya.
"Ehh... Iya i- Ya tentu silahkan"
Gadis itu tidak berkata lagi, hanya diam mengahabiskan makanan.
Para penjaga panti berbaik hati membawakan pakaiannya dan menyiapkan ruang untuknya, sementara ia makan.
"Jadi... Boleh kutahu namamu? "
Bodoh ya? Aku tahu, bodoh sekali.
Tapi gadis itu hanya tersenyum sementara aku meringis, lalu dia menjawab singkat.
"Panggil saja Leta, ya? "
Aku mendongak, bagai terkena sihir kepalaku hanya mengangguk cepat.
Dia kembali tersenyum.
Singkatnya, kami menjadi teman, ia menanyakan namaku, lalu kami bertukar cerita dan ternyata kami memiliki banyak kesamaan, namun dia sekitar 3 tahun lebih tua dari ku, dia tidak pernah mengatakan dengan pasti mengenai usia nya sebenarnya.
Dimanapun kalian menemukan seorang bocah pirang, kalian akan menemukan gadis pirang disebelahnya dan sebaliknya, kami tidak terpisahkan.
Kami berbagi mimpi, berbagi rahasia, hanya dengan dia aku bebas bercerita.
Seiring berjalannya waktu, seiring kami tumbuh, perasaan itu berubah. Aku berubah, aku tak ingin sekedar menjadi seorang adik bagi nya, namun aku tak ingin terburu buru, melihat dia nyaman nyaman saja dengan apa yang selama ini kami menjadi.
Aku berusia 15, saat pemuda itu datang.
Ia datang ke panti dengan penuh wibawa menyatakan tertarik pada Leta-ku. Malangnya, kupikir Leta akan menolak, dan memilih bersama ku untuk mewujudkan mimpi kami suatu hari nanti. Tapi ya... Dia dengan senang hati memilih pemuda itu.
Satu minggu lamanya aku marah, mengunci diri dari siapapun, dan satu minggu itu pula Leta membujukku, mengajak berdamai, baginya aku selalu menjadi adik terbaik.
Aku tahu aku salah, tapi sepotong hati ini tetap terluka.
Dua bulan kemudian ia menikah, kami hanya bersitatap sejenak. Aku memutuskan untuk tidak berkata, dan ia sepertinya bingung, sembari berjalan dituntun suaminya ia nenyelipkan sebuah sapu tangan dengan tertulis nama panti yang asing di mataku, di saku jaket kumel yang saat ini kupakai. Akhirnya...kami hanya seperti dua jiwa yang tidak saling tahu, yang satu menempuh jalan baru dan satu lagi tenggelam terseret bara amarah dan pilu.
Ia rutin mengunjungiku, membawakan makanan, selayaknya seorang kakak, dan entah kenapa aku membenci perlakuannya, sangat.
Hingga ketika usiaku 16 tahun, ia datang mengucap salam. Aku marah dan menyuruhnya agar tidak pernah menemui ku lagi sekalipun mendengar berita Levilliar Brocht meninggal.
Tadi, adalah kunjungan pertamanya setelah 1 tahun setengah kami membisu.
Aku sudah tidak marah, tapi kudengar dia memiliki masalah dengan rumah tangga nya, dia bilang dia sangat membutuhkanku, dan aku berubah menjadi orang asing baginya saat ini.
Secarik kertas itu mengatakan ada kemungkinan suami nya akan nembawanya jauh menuju sisi lain tempat ku berpijak, padahal mereka sedang bertengkar hebat.
Aku menatap keluar jendela, menghela nafas. Pengecut jika aku menjauhinya padahal ia tak salah, aku yang tempramental dan belum berani untuk kembali memulai.
Masih pantaskah aku memanggilnya kakak?

KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR US
Fiksi RemajaAzalea, seorang gadis remaja berusia 16 tahun pulang ke rumah mendapati kematian kakeknya, tidak ada jejak, saksi, keterangan, persidangan pun berakhir sia sia. Sementara ayahnya raib tanpa pesan. Levi, 18 tahun. Ia menghabiskan 17 tahun hidupnya t...