Bunyi pip yang terdengar berulang kali menandakan alarm jam digital di atas nakas itu aktif. Jam digital berbentuk persegi panjang itu menunjukkan pukul enam tepat. Tubuh Jaemin yang terbalut piyama satin berwarna biru tua menggeliat pelan, membuka matanya perlahan kemudian mengernyit sebelum mematikan alarmnya yang masih berbunyi. Jaemin sedikit menguap lalu mendudukkan diri sambil bersandar pada headbed. Tangan kanannya bergerak mengeluarkan rantai kalungnya yang berada di balik piyamanya. Mengelus cincin kecil plastik berwarna merah musa yang menjadi bandul kalungnya.
Jaemin tersenyum tipis, tiba-tiba kembali mengenang bagaimana ia bisa menyimpan cincin merah muda itu selama lima belas tahun.
"Kinci.."
Jaemin yang sedang memetik bunga menoleh, menatap anak sebayanya disana dengan raut tanya. Kening Jaemin mengerut ketika anak berkulit putih itu malah tersenyum dan berjalan ke arahnya. Tiba-tiba tangan kurus anak itu terjulur di depan Jaemin.
"Untukmu."
"Ini apa?" Tanya Jaemin heran.
"Cincin."
"Untuk apa?"
"Tentu saja untuk kau pakai."
"Jeno, kau dapat darimana?" Jaemin kembali mengernyit, membuat Jeno tersenyum lebar.
"Aku membongkar celenganku untuk membelinya. Karena Papa tidak memberikan ku uang."
"Kenapa? Papamu kan punya banyak uang."
Jeno mengendikkan bahunya, "Mungkin karena aku masih kecil."
"Hmm." Jaemin hanya mengangguk, membiarkan Jeno memasangkan cincin merah muda polos itu pada jari manisnya.
"Kau mau menikah denganku kan?"
"Kau baru saja bilang jika kau masih kecil."
"Aku tau." Jeno cemberut. "Maksudku nanti setelah kita dewasa."
"Entahlah. Aku bahkan masih SD dan tidak mengerti pasti apa itu pernikahan."
"Hah.. sulit sekali mengajakmu menikah."
"Tunggu saja setelah dewasa."
"Aku berfikir sepertinya aku akan tidur saja sampai umurku dua puluh lina tahun."
"Kau bukan putri tidur." Ejek Jaemin.
"Ya sudah. Anggap saja aku pangeran tidur."
Keduanya tertawa mendengar kalimat sembarangan itu keluar dari bibir Jeno. Setelahnya Jeno membantu Jaemin untuk memetik bunga yang entah apa namanya, hanya saja bunga itu tampak cantik dan mungil. Seperti Jaemin.
Jaemin terkekeh mengingat kenangan masa kecilnya. Ia sadar jika perasaan itu hanyalah perasaan semu anak-anak yang bahkan tidak tau apa itu cinta. Tidak apa-apa, setidaknya Jaemin memiliki Papa Mama Lee yang memihaknya. Jaemin akan berusaha untuk mendapatkan Jeno, dan dia hanya tinggal menunggu takdir berpihak padanya.
Jaemin menyugar surai lembutnya yang berwarna hitam, sepertinya ia berencana akan mengganti warna rambutnya menjadi merah maroon. Jaemin mengangguk kecil lalu menurunkan kakinya dari ranjang, berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap.
.
.
.
Hari ini Jaemin memakai kemeja berwarna hitam dengan dua kancing atas yang terbuka. Kerahnya ia tarik menyamping hingga sedikit menampakkan kedua bahu mulusnya serta kalung peraknya. Jaemin baru saja keluar dari Salon, menunjukkan surai merah maroonnya yang bergerak tersapu angin. Kaca mata berwarna hitam juga bertengger pada hidungnya, mencegah sinar matahari yang cukup terik untuk tidak menyakiti matanya. Sedangkan kaki jenjangnya yang terbalut celana jeans berwarna putih melangkah menuju mobil silvernya, masuk ke dalam kemudian menginjak pedal gas menuju sebuah alamat restaurant yang baru saja ia terima lewat pesan. Jemari kanan Jaemin yang terpasang cincin berlian itu melepas kaca matanya, menampakkan wajah cantik dan imutnya sekaligus. Hanya saja satu anting panjang yang terpasang pada telinga kanan Jaemin membuatnya lebih anggun dan begitu elegan.
Kurang lebih sepuluh menit, Jaemin sampai pada alamat yang ia tuju. Di dalam sana ia digiring oleh salah satu pelayan untuk mengantarnya pada meja yang telah di pesan. Tas gucci tanpa tali yang ia bawa, ia letakkan di atas meja, membuat lelaki yang tengah menunggunya kini mendongak.
"Hampir terlambat."
"Macet." Jawab Jaemin singkat, kemudian mendudukkan bokongnya pada kursi.
"Mama menyuruhku membelikanmu sesuatu."
Jaemin terkekeh, "Tidak perlu repot-repot Jeno "
"Aku juga sebenarnya tidak mau. Tapi ini sebagai rasa hormatku pada Mama."
"Terima kasih."
"Perlu ku pasangkan?" Jeno menaikkan alisnya.
"Tidak." Jaemin mengambil kotak berwarna biru muda dengan pita diatasnya itu dengan cuek, kemudian memasukkannya ke dalam tas guccinya.
"Jaemin--"
"Makanlah dulu. Tidak usah terburu-buru." Jaemin tau Jeno akan pergi setelah memberikan hadiah padanya, dan Jaemin tidak mau itu terjadi.
"Aku sibuk."
"Aku juga sibuk. Jadi duduklah dan makan makananmu. Atau aku akan menelfon Mama mu."
"Dasar pengadu." Decih Jeno.
Seorang pelayan perempuan datang menuangkan anggur pada gelas kosong milik Jeno, Jaemin menolak untuk meminum anggur pada pagi hari. Setelah itu datang lagi pelayan laki-laki yang membawakan dua piring berisi Omelete dengan toping sosis dan juga cream lembut diatasnya. Jaemin tersenyum dalam hati mengingat Jeno adalah pecinta makanan Eropa. Oleh sebab itu Jeno sangat dekat dengan Papanya yang selalu menganut adat Eropa.
Tanpa menatap Jeno, Jaemin mulai mengiris Omeletenya dan mengunyahnya dalam diam. Tak mempedulikan Jeno yang merasa jengah padanya.
"Jangan terlalu banyak basa-basi Na." Peringat Jeno.
Jaemin mengusap sudut bibirnya dengan tisu, kemudian menatap Jeno dengan tanya. "Aku?"
"Aku ada janji dengan Siyeon."
"Siyeon tidak akan lari hanya karena kau meluangkan sedikit waktumu untukku."
"Tapi kau membuang waktuku."
"Kau yang meminta bertemu bukan?" Skakmat, Jaemin tersenyum manis melihat keterdiaman Jeno. "Jadi aku memintamu untuk menghabiskan sarapanmu denganku."
"Entah kenapa kau sangat munafik."
"Aku tidak." Balas Jaemin enteng.
"Jagalah sikapmu. Kau tau, dimanapun kau berada, pasti ada orang yang membenci...
...seperti sekarang, tempatmu duduk. Disini akulah orang yang membencimu."
Jaemin mengatupkan bibirnya, menggenggam gelas kecil berisi air putih yang tadi disediakan bersama dengan hidangan. Jaemin masih diam ketika Jeno beranjak tanpa mengatakan sepatah katapun. Dengan hati dongkol, Jaemin meminum air putihnya dalam sekali tenggak. Kemudian menaruhnya dengan bantingan hingga gelas kecil itu pecah, bunyi nyaring memenuhi ruangan restaurant. Membuat beberapa orang memekik serta pelayan yang tergopoh-gopoh mendatanginya karena luka pada tangannya.
"Brengsek." Desis Jaemin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a Drama [NOMIN]
FanfictionCOMPLETE✔ [Drama] [Hurt/comfort] [Romance] ▪ Tidak selamanya pihak wanita atau submissive yang lemah dan miskin akan menang dalam sebuah panggung. Mendapatkan cinta yang utuh dan hidup bahagia bersama pria kaya yang rela meninggalkan segalanya hanya...