Chapter 2

10.1K 1.5K 114
                                    

Saat ini Jaemin tengah berbaring diatas ranjangnya dengan Hyunjin yang duduk di sebelahnya. Lelaki bermarga Hwang itu tadinya ingin membooking cafe lantai dua yang telah Jaemin booking dulu. Tetapi ketika tau jika Jaemin yang mendahuluinya, Hyunjin memilih untuk melihatnya sebentar. Setidaknya ia ingin memastikan jika memang yang mendahuluinya itu Na Jaemin yang ia kenal.

Hyunjin merasa beruntung karena ia memilih untuk mengunjungi lantai dua. Jika tidak, bisa dipastikan Jaemin akan semakin tersakiti tanpa bantuan siapapun. Hyunjin sangat tau bagaimana perangai seorang Jaemin. Pemuda manis itu selalu berlagak menjadi orang yang seolah bisa melakukan semuanya sendiri. Tidak ingin mempedulikan orang lain meski nyatanya hati Jaemin itu termasuk lembut. Dan juga, Jaemin pemuda yang tak pantang menyerah. Dia tak akan mundur sebelum apa yang ia inginkan terwujud, tentu saja tanpa rencana licik yang membuatnya di cap sebagai orang jahat. Jaemin hanya ingin menunjukkan jika apa yang ingin ia miliki itu tidak pantas untuk orang lain.

"Sakit?" Tanya Hyunjin setelah menempelkan plester berwarna cokelat pada sudut bibir Jaemin.

"Tidak."

"Jangan bohong."

"Aku tidak."

"Lalu..." Hyunjin menghela nafas sebelum memegang tangan kanan Jaemin yang terbalut perban putih. "Ini kenapa?"

"Terluka tentu saja."

"Aku tau. Tapi karena apa?"

"Sudahlah." Jaemin menarik tangannya dari Hyunjin. "Setidaknya lukanya sudah diobati."

"Kau masih keras kepala."

Hyunjin memasukkan botol alkohol serta gulungan plester pada kotak obat dengan sedikit kesal. Dia tidak mengerti dengan Jaemin yang terlalu cuek dan selalu tampak anggun ini. Jujur saja Hyunjin ingin Jaemin menjadi pemuda yang tidak terlalu menjunjung harkat martabat dengan berpenampilan biasa, yang maksudnya tidak mencolok. Dimanapun dan kapanpun, Jaemin selalu memakai pakaian mahal, cincin berlian polos yang melingkar pada jari manis dan tengahnya, serta kalung perak yang selalu terpasang pada lehernya.

"Aku lelah."

"Bilang saja jika kau mengusirku."

Jaemin hanya mengendikkan bahunya kemudian memiringkan tubuhnya memunggungi Hyunjin sambil memeluk gulingnya.

"Gantilah pakaian dulu. Nanti gerah." Peringat Hyunjin sebelum lelaki itu keluar dari kamar Jaemin.

Setelah memastikan pintu kamarnya tertutup, Jaemin kembali merentangkan tubuhnya. Menatap langit-langit sembari mengelus bandul kalungnya. Jaemin menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya pelan. Dadanya masih sesak dan membutuhkan oksigen lebih banyak lagi.

"Apa aku boleh menangis?" Lirih Jaemin pada dirinya sendiri, setelahnya ia mendengus geli, merasa jika itu tak masuk akal. Jaemin memilih untuk melelapkan dirinya saja, mungkin nanti malam baru ia berganti pakaian. Jaemin terlalu lelah.


.

.

.



Jeno sedang duduk di ruang tengah dalam flat mungil milik Siyeon. Matanya memandang ke depan dengan pikiran yang entah dimana Sedangkan Siyeon tengah mengobati memar pada pipi Jeno yang lebam serta sudut bibirnya yang berdarah. Siyeon sendiri tak terlalu merasa sakit pada pipinya, hanya dua goresan memanjang yang berasal dari cincin milik Jaemin.

"Apa sakit?"

Siyeon mengernyit ketika tak mendengar sahutan Jeno. Ia memiringkan wajahnya untuk menatap Jeno dari samping. Menyentuh bahu Jeno pelan, membuat lelaki itu sedikit tersentak lalu balas menatapnya.

"Maaf."

"Untuk apa? Kenapa?"

"Seharusnya kau tidak tersakiti karena aku."

Siyeon tersenyum, mengelus lengan Jeno lembut. "Tidak apa-apa. Asalkan kau masih berada bersamaku, itu sudah cukup."

Jeno ikut tersenyum saat melihat senyum cerah Siyeon. Ia merengkuh tubuh kecil gadis kesayangannya itu dalam pelukannya sambil mengusap punggung Siyeon. Dalam hati, Jeno sedikit merasa bersalah pada Jaemin. Ia juga was-was jika Jaemin mengadukan hal ini pada orang tuanya. Karenanya Jeno tengah berfikir keras, ia harus bertindak lebih cepat agar pernikahannya dengan Jaemin dibatalkan. Setelah itu ia akan melamar Siyeon dan memperkenalkannya pada orang tuanya.




****




Matahari naik semakin tinggi. Jam kini menunjukkan pukul sepuluh yang berarti masih jam bekerja untuk para pegawai.

Jaemin baru saja keluar dari sebuah toko langganannya, menenteng paper bag berwarna putih dengan logo merk dari toko yang ia kunjungi. Jaemin memasuki mobilnya di bagian kemudi, meletakkan paper bag putih itu di sampingnya lalu segera berkendara menuju cafe untuk bertemu seseorang. Butuh waktu dua puluh menit untuk sampai disana, beruntung jalanan tak terlalu macet hingga membuatnya tak terlalu lama.

Disana Jaemin memarkirkan mobilnya tepat di depan cafe. Ia keluar dari mobilnya kemudian berjalan masuk ke dalam sana. Mengabaikan tatapan kagum dari para pengunjung cafe, Jaemin tetap berjalan menuju meja kasir dan memberi senyum tipisnya.

"Bisa kita bicara, Siyeon-ssi?"

"Jaemin-ssi.."

"Tidak akan ada keributan. Aku berjanji."

Dengan pasrah, Siyeon mengikuti langkah Jaemin yang menaiki tangga ke arah lantai dua. Siyeon yakin Jaemin sudah memesan tempat ini lagi hanya untuk berbicara berdua dengannya. Terkadang Siyeon bertanya-tanya, seberapa kaya Jaemin dan keluarganya ini?

"Duduklah." Jaemin menjulurkan tangannya ke arah sofa di depannya, mempersilahkan Siyeon untuk duduk.

"Ada apa lagi?" Tanya Siyeon setelah mendudukkan diri.

Jaemin tak menjawab, ia hanya tersenyum tipis. Mengambil sepasang sepatu putih dari dalam paper bag yang ia bawa tadi, kemudian berjongkok di depan Siyeon.

"Eh.. J-Jaemin..."

"Diamlah." Jaemin melepas sepatu lusuh milik Siyeon, menggantinya dengan sepatu putih yang baru saja ia beli dari toko langganannya. Setelah memasang sepatu putih itu pada kedua kaki Siyeon, Jaemin kembali duduk pada sofa yang tadi ia duduki.

"Jaemin -ssi..."

"Anggap ini sebagai permintaan maafku. Aku hanya tidak ingin kau menilaiku sebagai orang jahat. Aku tidak suka itu."

"Tapi ini..."

"Tak usah dipikirkan. Itu tak seberapa untuk luka mu dariku."

"Kau.. tidak apa-apa?" Tanya Siyeon ragu.

"Tentu saja. Setidaknya aku masih bisa berbicara dan berjalan. Bahkan aku masih bisa bertemu denganmu sekarang."

Siyeon terdiam sejenak, menundukkan kepalanya sembari menggerakkan kakinya pelan. Matanya masih memandangi sepatu putih yang terpasang pada kedua kakinya, sangat cantik dan nyaman. Siyeon beralih mengangkat wajahnya, menatap Jaemin yang bertopang kaki dengan penampilan anggunnya. Jika dilihat, ia memang tak seberapa dibanding Jaemin yang memiliki segalanya dengan fisik dan kepintaran yang tak dapat ditolak. Jaemin sangat cantik dan anggun serta memilik materi tinggi, sedangkan ia hanya gadis yang entah cantik atau tidak dan hanya seorang pelayan di sebuah cafe.

"Terima kasih." Ucap Siyeon dengan senyumnya.

"Aku memang tidak mau kau menganggapku sebagai orang jahat. Tapi aku juga tidak mau kau menganggapku sebagai orang baik. Aku tidak sebaik itu."

"Aku yakin, kau memiliki sisi baikmu tersendiri."

"Tentu. Hanya saja, Jeno tak memilihku."

"Jaemin -ssi. Kau cantik, kau bisa memilih lelaki manapun untuk menikahimu."

"Jangan membuatku kesal Siyeon -ssi." Jaemin membenahi kerah kemejanya, kemudian berdiri dan berlalu begitu saja dari hadapan Siyeon. Meninggalkan Siyeon yang kini menunduk sambil menghela nafas berat.

Not a Drama [NOMIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang