Masa putih abu-abu adalah masa paling indah. Masa di mana kita mencari jati diri juga masa percintaan yang rumit. Pun persahabatan yang kadang ikut terlibat dalam ikatan cinta. Ada banyak jalan yang menuntun seseorang dalam penyesalan. Jarang seseorang yang menemukan jalan kebahagiaan. Karena kembali lagi, ini masa mencari jati diri.
Sebuah motor besar berwarna merah baru saja memasuki area sekolah. Dua pasang anak manusia duduk di atasnya. Seorang cowok yang berperan sebagai pengemudi melepas helm, bersama dengan turunnya sosok gadis yang mengisi jok belakang.
Gadis itu tampak menunggu seseorang yang sedang memarkirkan motor. Lantas mereka berjalan beriringan menuju kelas.
Ivenna sedikit merasa aneh, karena tidak biasanya banyak pasang mata terarah padanya. Ia melihat tampilannya dari atas sampai bawah. Tidak ada yang aneh, pikirnya.
“Lihat gue.” Ivenna berhenti menghadap Govintara. “Ada yang aneh, gak?”
Dahi cowok itu berkerut. Matanya meneliti. Melihat raut cemas di wajah Ivenna, membuat ide emas muncul di kepalanya. Ia memutar Ivenna dan berhenti tepat saat tubuh gadis itu membelakanginya. Govintara menampilkan senyum liciknya.
“Itu,” bisik Govintara tepat di telinga gadis itu.
Mata Ivenna memejam, mulutnya sedikit terbuka. “Tutupin gue, tutupin gue.”
Govintara bergerak menjauh, sedetik kemudian berlari meninggalkan Ivenna.
“Govintara sialan!” Ivenna melihat sekelilingnya. Aman, batinnya. Lantas ia berlari menuju kamar mandi.
***
Ivenna membabi buta pundak Govintara. Dada gadis itu naik-turun menahan amarah. Sekalinya menyebalkan tetaplah menyebalkan.
“Pisang! Pisang! Pisang!” pekiknya. Kedua tangannya terus menyerang cowok itu.
“Tenanglah monyet, tenang. Kau mau pisang, iya?” Govintara berkata lembut, mencoba menjinakkan hewan betina yang sedang kelaparan.
Ivenna menghentikan aksinya. Matanya menatap nyalang pada Govintara. Tega sekali cowok itu membodohinya, mengatakan sesuatu yang membuat dirinya begitu khawatir juga malu di waktu bersamaan. ‘Tak sengaja penglihatannya menangkap sosok Anas yang baru datang, mulut Ivenna sedikit terbuka hendak meminta bantuan. Tapi, melihat sikap Anas yang sedikit berbeda membuat gadis itu mengurungkan niatnya. Ivenna memelotot pada Govintara seolah mengatakan 'Awas!’ lantas bergerak duduk ke bangkunya.
Gadis itu meredamkan amarahnya. Pikirannya berjalan mencari suatu keganjilan. Sebuah usapan lembut di kepala membuat Ivenna mengernyit bingung.
“Monyet pintar.” Suara itu membuat Ivenna menyipitkan mata.
“Tenaga gue udah abis,” ujar Ivenna seolah mengibarkan bendera putih. Ia tidak sanggup untuk kembali beradu tenaga dengan Govintara.
Sebuah kotak susu dan sebungkus roti tergeletak di bangkunya. Bibir yang semula menekuk itu perlahan mengembang. Ia menatap Govintara, lalu meminum susu dan memakan roti dengan lahap. Tepat sekali, karena pagi ini ia belum sarapan, ditambah tenaga yang habis akibat meladeni Govintara.
“Sama-sama.” Cowok itu kembali ke tempat duduknya.
Ivenna berhenti mengunyah, lalu menoleh pada Govintara seraya meringis.
***
Lagi-lagi Ivenna merasa ada yang aneh pada Anas. Sejak tadi pagi sikapnya sudah berubah. Yang biasanya ke kantin bersama, kali ini Anas pergi tanpa dirinya. Bahkan mulut Anas seolah terkunci rapat ketika Ivenna mencoba untuk mengajak bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menottes [END]
Teen FictionBiarkan terikat agar tak hilang, atau lepas agar luka tak berbekas?~Govintara -- Kamu adalah kunci, dan aku ibarat borgol yang tak bisa dibobol. Ini bukan karena aku melakukan kesalahan, tapi karena akulah yang memborgol diri dengan kunci sengaja ku...