Sam Tidak Ada di Sini?

59 22 24
                                    

Dio membawa dua tongkat bassbal di dalam tasnya. Untuk apa? Ya untuk jaga-jaga jika Pak Ompuse melakukan serangan. Kenapa dua? Karena satunya akan ia pinjamkan pada Sasa.

"Nanti kalo ada apa-apa, jangan cuma jerit," kata Dio saat memberikan tongkat bassbal itu pada Sasa.

"Iya-iya," balas cewek itu. Sasa memasukkan tongkat bassbal itu ke dalam tasnya. Mereka lalu berangkat menuju ke rumah Pak Ompuse.

Poster-poster yang ditempel di pinggir jalan tidak tersisa satu pun. Begitu juga yang ditempel di depan ruang listrik di depan sekolah mereka. Satu-satunya poster yang masih ada adalah poster yang ditempel di mading sekolah mereka.

Dari hari pertama mereka menempel poster itu hingga sekarang, tidak ada yang menghubungi mereka perihal poster itu. Membuat Dio sangat yakin bahwa Sam ada di rumah Pak Ompuse. Dan membuat Sasa yang semula agak ragu, kini amat yakin bahwa kucing Dio ada di sana.

Matahari yang bersinar terik kala itu membuat keduanya bermandi peluh. Ketegangan terlihat jelas di mata Sasa. Wajah berkeringat cewek itu agak pucat dengan kedua tangannya yang memegang setang berkeringat dingin. 

Berbanding terbalik dengan Dio. Wajah cowok itu tampak biasa-biasa saja. Tanpa ada raut tegang di wajahnya.

Mereka berbelok ke gang menuju rumah Pak Ompuse. Dari kejauhan, menurut mata mereka yang normal, pintu gerbang rumah Pak Ompuse itu terbuka lebar.

"Pintu gerbang bapak itu terbuka," kata Sasa.

Dio mengangguk sambil menoleh padanya. "Dan bapak itu ada di sana," katanya.

Sasa memfokuskan penglihatannya, dan memang benar. Ada Pak Ompuse yang tengah berdiri di tengah gerbangnya. Rambut putih bapak itu berkibar tertiup angin yang berembus pelan. Pakaiannya berwarna kelabu. Dan bapak itu membawa sesuatu di tangannya. Tidak salah lagi! Itu tongkat bassbal. Benda sama yang Sasa dan Dio bawa di dalam tasnya.

Kini jarak mereka dengan rumah Pak Ompuse tinggal sekitar sepuluh meter lagi. Pak Ompuse masih berada di tempatnya. Menurut penglihatan mereka, bapak itu tidak memandang ke arah mereka. Dia menatap ke kejauhan. Begitu pun saat kedua remaja itu sampai di depannya dan menyetandarkan sepedanya masing-masing. Si bapak belum mengalihkan pandangannya ke arah mereka.

Kaki Sasa gemetar saat cewek itu turun dari sepedanya. Dengan langkah perlahan ia mengikuti Dio yang berjalan mendekati Pak Ompuse. Mereka berdiri sekitar satu meter di depan bapak yang belum juga mengalihkan pandangannya ke arah mereka itu. Dio membungkukkan badannya. Dan dengan gugup Sasa mengikutinya.

"Selamat siang, Pak," sapa Dio sopan.

Pak Ompuse masih memandang ke kejauhan. Membuat Dio mengulangi lagi salamnya dengan nada yang lebih halus dan sopan. Sepuluh detik setelah salam Dio yang kedua, akhirnya Pak Ompuse mengalihkan pandangannya dari kejauhan ke arah mereka. Tepatnya ke salah satu di antara mereka. Ke arah Sasa.

Mata Sasa terbelalak kaget dan tubuhnya menegang saat mata Pak Ompuse memandangnya tajam. Cewek itu menelan ludahnya dengan susah payah lalu mengucapkan salam pada bapak itu dengan terbata.

"Kon---nichiwa," ucapnya.

"Konnichiwa," balas Pak Ompuse.

Bapak itu mengalihkan pandangannya ke arah Dio, dan cowok itu langsung mengucapkan salamnya lagi pada bapak itu.

"Selamat siang, Pak."

"Selamat siang."

"Pak, kami ke sini---"

"Ikuti saya," potong Pak Ompuse lalu berbalik dan berjalan dan berjalan menuju pintu rumahnya. 

Dio yang hendak berjalan berhenti karena tiba-tiba Sasa memegang lengannya kuat. Ia mengangkat alisnya tanda bertanya, dan cewek itu menggeleng dengan wajah pucat. 

Mencari Kucing Dio (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang