Sam

164 25 46
                                    


Mata Dio semakin menyipit bingung. "Maksudnya, Pak?

"Kucing kamu ada di depan gerbang rumah saya pada waktu itu. Paha kiri belakangnya lebam dan bengkak. Begitu juga dengan dadanya. Ia tampak kesakitan saat itu. Waktu saya mengangkatnya, ia memberontak dan mencakar saya. Tapi saya tidak melepaskannya, perlahan-lahan kucing itu diam. Saya membawa kucing itu masuk. Memeriksa lukanya dan memberikannya makan. Awalnya ia mau makan, tapi beberapa jam kemudian ia tidak mau. Badannya panas dan ia tidak bisa berjalan." Pak Ompuse berhenti sebentar. Memberikan waktu bagi Dio dan Sasa mencerna kata-katanya. 

Sasa menoleh pada Dio. Ia melihat mata cowok itu berkaca-kaca. Cowok itu menelan ludahnya dengan susah payah. Kemudian, matanya bertubrukan dengan mata Sasa. Ia membuang muka darinya ke arah Pak Ompuse.

"Lalu, Pak?" tanya Dio.

"Saya mengobati kucing itu dengan obat dan kemampuan yang saya punya. Mengompres badannya yang panas dan mengobati lebam dan bengkaknya dengan beras dan kencur. Saya minumkan kucing itu susu. Dua hari belum ada perubahan. Hari berikutnya, kucing itu demam tinggi. Badannya sangat panas dan ia tidak mau makan. Lalu hari berikutnya, dia muntah-muntah."

Sasa melihat Dio mengusap kasar matanya yang mulai mengeluarkan air mata. Melihat itu, rasa bersalah Sasa kembali hadir dalam dirinya.

"Lalu, Pak? Kucing saya mati?" tanya Dio dengan suara pelan. Sorot matanya yang biasanya tajam kini sayu.

Hati Sasa terasa ditikam sesuatu saat Dio menanyakan itu. 

"Tidak," jawab Pak Ompuse sembari menggeleng. "Hari berikutnya, saya membawa kucing itu ke dokter hewan yang ada di luar kota. Kenapa saya membawanya ke luar kota? Karena kebetulan saya sering ke luar kota, ke rumah anak saya. Setelah dirongent, ternyata dua rusuk di bagian kirinya retak." Pak Ompuse menatap Sasa dan Dio bergantian. "Apa yang terjadi dengan kucing itu?"

"Kucing itu dilempar oleh Sasa," jawab Dio sambil melirik Sasa.

Pak Ompuse menatap Sasa dengan matanya yang sipit. Bapak itu menelengkan kepalanya dan bertanya, "Kenapa?"

"Ehh… saya phobia kucing Pak. Waktu itu, sewaktu pulang sekolah saya berpapasan dengan Dio. Saya kaget dan takut saat melihat kucing Dio yang berada di keranjang sepedanya. Saya menyuruh Dio minggir." Sasa menoleh pada Dio lalu menatap cowok itu jengkel. Lalu kembali pada Pak Ompuse dan melanjutkan ceritanya, "Tapi Dio nggak paham sama apa yang saya katakan. Memang waktu itu saya menjerit-jerit. Itu karena saya ayok melihat kucing itu. Lalu, kami yang mengendarai sepeda itu bertabrakan. Kucing Dio bukannya meloncat ke arah Dio, malah ke pangkuan saya. Saya menjerit, kemudian memegang kucing itu dan melemparkannya sekuat tenaga. Saya nggak bermaksud mencelakai hewan itu. Itu saya lakukan karena saya takut. Jadi, ya begitulah. Kucing itu mencakar Dio waktu Dio mengangkatnya kemudian pergi. Dan tidak terkejar oleh Dio." Sasa menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. "Saya tidak bermaksud mencelakai kucingnya Dio," lanjutnya dengan mengedikkan dagunya ke arah Dio.

Pak Ompuse mengangguk-angguk kemudian berkata, "Jadi, karena telah membuat kucing Dio lari, kamu yang phobia terhadap kucing membantu mencarinya?"

"Iya Pak," jawab Sasa sambil mengangguk.

"Jadi Pak, di mana Sam sekarang?" tanya Dio pada Pak Ompuse.

"Sam masih di dokter hewan. Kucing itu masih harus banyak istirahat. Jangan banyak bergerak dulu. Harus terus diawasi. Karena tidak yakin bisa merawatnya dengan baik, saya menaruh kucing itu di sana, dulu, dan berencana akan mengambilnya jika dia sudah benar-benar sembuh. Tadi malam, ketika saya menelepon dokter hewan tersebut, ia bilang paha kiri kucing tersebut sudah sembuh. Masih ada memarnya, tapi sedikit. Rusuknya yang retak sudah mulai membaik, tapi lebih baik dia jangan dibuat banyak bergerak dulu selama kira-kira satu minggu ke depan. Nah, sekarang, kamu ingin kucingmu kembali saat dia sudah benar-benar sembuh, atau memilih mengambilnya sekarang dan merawatnya sendiri?"

Mencari Kucing Dio (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang