"Ayola jangan ngambek, buruan udah jam 11 ini, keburu siang. Cuacanya enak loh habis hujan jadi nggak terlalu panas," bujuk Alvi lagi.
"Emmmmmm," pikir Nina.
.
.
.
.
"Yauda iya," sekian lama memikirkan. Daripada Nina dirumah hanya memikirkan Reno yang entah bagaimana kondisinya sekarang, lebih baik memikirkan diri sendiri."Yauda ayo," ajak Alvi menepuk batang sepedanya.
Nina berpikir apakah ia harus duduk di batang itu? Sebesar badan Nina apa muat dengan sebatang besi sepeda milik Alvi.
"Ha? Duduk disitu?" Tanya Nina yang belum paham dengan ajakan Alvi.
"Jadi?" Alvi menaikkan alisnya sebelah.
"Lo sengaja ya bawa sepeda cuma 1, udah tau gue ngga ada sepeda," sebal Nina. Tak habis pikir dengan Alvi, bisa-bisanya Alvi hanya membawa 1 sepeda.
"Lo bayangin aja gue bawa sepeda dua, coba Lo bayangin, gimana cara bawaknya coba?" Jelas Alvi dan Nina pun meletakkan jari telunjuknya di kepala, ia memikirkan sejenak apa yang barusan kekasihnya katakan. Setelah berpikir, Nina tertawa kecil. Benar juga ya gimana cara bawaknya pikir Nina.
"Malah ketawak," ucap Alvi di tengah-tengah terkekeh geli si Nina.
"Lucu tau," jawab Nina, "yauda gue mandi dulu," sambungnya.
"Ngga perlu, udah sini buruan," tangan Nina ditarik paksa oleh Alvi dan langsung mengarahkan tubuhnya untuk duduk di batang sepeda tepat di depannya.
"Nina,"
"Ya?"
"Sakit ngga duduk disitu?" Tanya Alvi sebelum ia mengkayuh pedalnya.
Sebenarnya sakit, sedikit sih, tetapi Nina tak akan buat raut wajah kekasihnya itu berubah murung. Terpaksa Nina harus berbohong padanya, "Nggak," sambil menggelengkan kepalanya.
"Baiklah, pegangan ya," kata Alvi dan dianggukin Nina.
Selama perjalanan, Nina selalu tertawa dibuat Alvi. Rasa sakit di bokongnya pun serasa berkurang bahkan sama sekali tak merasakan sakit. Mungkin karena kebas jadi tak bisa merasakan apa-apa.
Sangking banyaknya tertawa, Alvi jadi tidak fokus dalam menyupir sepedanya. Hasilnya, mereka menabrak pinggiran jalan didekat taman, dan mereka terjatuh.
"Nin!" Alvi melihat Nina yang terjatuh terlungkup di jalan aspal, langsung menuju Nina dan membantunya untuk duduk. Sedangkan Alvi terjungkal ke depan di rerumputan sehingga tak ada luka.
"Aw," rintih Nina menahan sakit di dengkulnya, ketika Alvi membantunya untuk bangkit.
"Maafkan aku ya, gara-gara aku dengkulnya terluka," ucap Alvi menyesali sudah membawa Nina untuk berjalan-jalan di taman.
"Udalah, ini ngga sakit, udah biasa kalau luka gini doang," kata Nina, namun perkataannya barusan tak menunjukkan benar adanya. Tampak wajah Nina memejamkan mata, menarik nafas dalam, itu menandakan bahwa sakitnya tidak main-main.
"Ada apa dengan wajahmu itu, kau bilang ngga sakit, dasar keras kepala!" Alvi hendak berdiri, "kau tunggu disini aku ingin cari handsaplas dan minuman, jangan kemana-mana," lanjutnya.
Nina hanya duduk diam di tanah yang beralas rumput, tempat dimana mereka terjungkal. Rasa perih kembali menyerang di dengkulnya, ia melihat dengkulnya penuh dengan darah, sudah nampak daging putih disana.
"Kenapa dengan dengkulmu?"
Nina terkejut dengan ucapan yang tiba-tiba itu. Segera ia melihat kearah sumber suara. Setelah melihatnya, Nina kembali ke posisi awal, melihat lukanya dan menahan betapa perihnya luka itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupu-cupu Nina [ On Going ]
Teen FictionMohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan, karena baru belajar. Mohon di follow dulu sebelum membaca. Jangan pelit sama vote dan coment ya:) Seorang gadis yatim yang cantik bernama Anina Ditasya yang pindah kesekolah elite dengan penampilannya y...