BAB 2B

39 11 2
                                    

Kupikir setelah insiden cicak tenggelam di dalam sayuran wanita itu akan mengadu ke ayah, ternyata nggak! Aku pun nggak nyangka kalau Clara yang meletakkan cicak elastis tersebut ke dalam makanan. Bi Nana saja sampai panik luar biasa. Dia mengira aku yang melakukannya.

Kalau pun aku yang melakukannya, memang Bi Nana bisa apa? mau menegurku? Nggak mungkin, karna dia tahu potensi kejahilanku nggak serendah itu.

Sejak kemarin Clara sudah menginap di rumahku. Kegiatan pagi ini kami mau senam erobik. Seperti biasa aku mengajak Bi Nana untuk ikut serta senam berasama kami. Dai jadi tim ramai deh pokoknya.

Aku menyetel lagu DJ sekencang mungkin supaya tetangga dengar dan ikut senam di rumahnya masing-masing. Karna kalau di rumahku nggak akan muat, apalagi emak-emak si di sini itu gendut-gendut. Nggak kebayang kalau halaman rumah jadi taman senam mereka.

“Soundnya kurang greget, Mei,” ujar Clara.

Aku meninggikan lagi volume suaranya. Dirasa sudah cukup, kami pun mulai senam sambil berteriak menyenadakan antara gerakan dan suara musik. Goyang ke kiri, ke kanan, maju dan mundur.

Ketika kami sedang menikmati kegiatan senam ini, tiba-tiba wanita itu datang menghampiri. Dia berdiri di dekat soun dambil menutup telinganya. Bi Nana datang menghampirinya dan bertanya apa yang dibutuhkan oleh wanita itu.

Aku dan Clara tidak memedulikan mereka berdua, tapi wanit aitu memanggil namaku beberapa kali sampi Clara melemparku dengan handuk yang ia pakai. Bi Nana memberi isyarat agar aku mendekat.

“Apaan sih?” ujarku agak ketus.

“Itu, ibuk minta musiknya dikecilin, Mbak.” Aku mendengkus lalu menatap wanita ou sambil bertolak pinggang.

“Kalo lo nggak mau keberisikan, masuk aja ke dalam kamar! Nggak usah dengerin musik yang gue setel.”

“Percuma masuk ke dalam kamar, nggak akan pengaruh kalau kamu nyetel sekeras ini, Mei!” ujarnya memelas layaknya korban kejahatan dan akulah penjahatnya.

Ya Tuhan, ini drama apa lagi?

Aku memberi isyarat padanya untuk diam. Jujur aku kehilangan mood sepagi ini hanya karena dia mengganggu senamku. Aku menegurnya, mengatakan kalau dia sudah mengganggu dan merusak suasana hatiku.

Kaina terus mengatakan kalau aku harus mengecilkan volume suara sound systemnya. Namun aku tidak menggubris, justru semakin dia mengatakannya, aku semakin memperbesar. Sepertinya besok aku harus ganti sound baru yang lebih keras suaranya.

Clara mendekat dan merangkulku, dia tersenyum kecil lalu menyindir Kaina soal protesnya yang katanya aku mengganggu. Dia juga mengatakan jika wanita ini terganggu, lebih baik menggunakan kapas untuk menutup telinganya.

Kulihat wajah Kaina sedikit muram. Apa dia akan mengadu ke ayah soal kelakuanku hari ini? Dia juga terus memperhatikanku tanpa berkedip.

“Apa lihat-lihat? Mau ngajak perang? Kalau di depan gue nggak usah sok polos, deh! Basi!”

Bi Nana tiba-tiba mengajak Kaina masuk ke dalam rumah karena dia terus memegangi kepalanya. Aku hanya menghela napas, Clara juga terlihat bosan. Akhirnya kami berdua hanay bisa menghela napas lagi.

Aku benar-benar bosan sekarang. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain memainkan volume sound, dikecilkan lalu dibesarkan, begitu terus sampai akhirnya Clara memukul bahuku.

“Apaan sih?” ujarku.

“Kalau bosan mukanya jangan suram-suram amat kenapa sih! Keliling komplek aja, yuk. Cari cowok ganteng.” Clara langsung berlari mengambil sepedanya penuh semangat.

Sudahlah, kali ini aku menurut saja, toh nggak ada salahnya juga menuruti ajakan Clara. Lumayan ‘kan kalau dapat cowok ganteng, apalagi di kompek sendiri.

Kami berdua meninggalkan rumah tanpa mematikan musik yang masih kusetel keras-keras. Abaikan Kaina yang sakit kepala, mari kita senang-senang sampai hati bahagia.

Aku mengajak Clara ke gang belakang rumah. Kalau jam segini biasanya ibu-ibu di sana masih pada senam. Aku sering hadir walau terlambat 30 menit. Lagian pelatihnya juga nggak protes.

“Mbak Kaina tumben cepat datangnya. Saya kira masih senam di depan rumah, soalnya musik yang mbak setel masih kedengaran.” Salah satu dari ibu-ibu di sana menyapaku.

“Duh, habis sda perang dunia kelima, Buk. Jadi saya kabur ke sini buat ngungsi.” Mereka tergelak.

Aku dan Clara masuk ke dalam barisan lalu ikut senam bersama ibuk-ibuk yang lain. Namun tiba-tiba salah satu dari mereka mengatakan sesuatu yang membuatku merasa kesal. Yup, ibu itu membahas Kaina yang tidak bersama denganku.

"Mbak Meisya gimana sama ibu barunya? Akur nggak?" Salah satu dari mereka bertanya begitu padaku.

"Ya akur, Bu. Buktinya saya sama emak saya masih hidup sampai sekarang 'kan? Nggak ada pertumpahan darah di antara kami. Itu artinya semua aman."

Aku tergelak tapi wajah ibu ini agak masam. Aku sih biasa aja, karena memang ibu ini selalu saja penasaran dengan kehidupan orang lalin. Setelah itu pasti dibuat gosip.

Duh, tabiat!

Kukira sudah nggak ada yang tanya soal Kaina lagi, tapi ternyata semua malah bertanya dan mengumpul seperti mau mengocok arisan.

Banyak yang bertanya bagaimana sikap Kaina kepadaku, atau sebaliknya. Lalu perlakuan ayah terhadapku dan dengannya. Apakah ayah adil atau tidak.

Ya namanya ke anak pasti sayang lah, apalagi anak kandungnya sendiri. Suka aneh ya ibu-ibu ini.

Menyesal aku keluar rumah dan mampir di sini.

Akan tetapi, pelatih senam tiba-tida ikut datang menimbrung. Dia berkata kalau keluarga itu privacy, nggaksemua hal boleh ditanya ataupun diberitahukan.

Terimakasih untuk Mba Syifa yang sudah berbaik hati membuat para ibu-ibu meninggalkanku.

"Terima kasih, Mbak," ujarku.

Mbak Syifa mengangguk dan duduk di sebelahku. Kupikur dia hanya sekadar duduk saja, tapi ternyata dugaanku mleset. Dia sama saja seperti yang lain. Kepo!

Awalnya dia bertanya soal kabar ayahku, tapi kemudian dia bertanya soal hubungan ayahku dan Kaina.

Dasar kadal! Sama saja seperti perempuan yang lain. Nggak ada yang benar-benar tulus mendekatiku, semua selalu karna ingin tahu soal ayah.

"Kalau gitu aku titip salam ya untuk ayahmu." Aku mengerenyit bingung.

"Salam apaan, Mbak?" ujarku.

"Salam kenal saja dulu."

Aku dan Clara saling pandang, jujur aku nggak paham sebenarnya.

"Salam kenal sama malaikat maut udah belom, Mbak?" ujarku yang malah mendapat gelak tawa darinya.

Dia memukul bahu dan mencubit pipiku. Katanya aku ini menggemaskan. Sebenarnya tanpa dikatakan pun aku memang menggemaskan, kok.

Para ibu-ibu senam satu persatu pamit dan terakhir Mbak Syifa. Dia sungguh-sungguh menitip salan untuk ayah. Bahkan dia nggak segan untuk mengatakan aku harus mengajak ayah ikut senam di sini.

Daripada aku mengajak ayah senam dan bertemu dengannya di sini, lebih baik kuajak ajah jalan-jalan mencari makan di luar.




To be continued ....
Selasa, 27 Oktober 2029

[1013]

I HATE TO LOVE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang