BAB 4A

39 7 0
                                    

Di dunia ini ada beberapa hal yang membuatku ketakutan, di antaranya adalah kehilangan orang yang paling aku sayangi. Mungkin terdengar bisa saja, karena pada dasarnya manusia itu bertemu lalu terpisah oleh takdir. Namun tahukah kamu, kehilangan cinta itu nggak sesakit kehilangan pelukan hangat seorang ibu.

Aku pernah bilang bundaku meninggal lima tahun lalu. Hari itu hatiku terasa sangat pilu. Bagaimana nggak sakit? Bunda meninggal akibat kecelakaan karena ingin menjemputku. Dampak yang kurasakan begitu besar.

Akan tetapi ayah lah yang paling terluka dan kehilangan bunda. Separuh jiwanya telah pergi.

Pemakaman bunda dihadiri kakek dan nenek. Waktu mendengar bunda meninggal mereka langsung terbang dari Jepang ke Indonesia. Nggak hanya sekadar menghadiri pemakaman bunda, kakek jug berencana akan membawaku ke Jepang dan tinggal di sana sampai aku dewasa.

Yup, aku ini keturunan Indonesia Jepang, Arashi adalah marga bundaku.

Aku ingat waktu itu sempat ada perdebatan antara kakek, ayah dan nenek. Kakek bersikukuh ingin membawaku ke Jepang, tapi ayah dan nenek nggak setuju.  Ayah ingin aku besar di Indonesia untuk  menemaninya, karena hanya aku harta satu-satunya yang dia miliki.

Sebenarnya aku mencintai tanah kelahiran bundaku, tapi juga menyukai tanah kelahiran ayahku. Dengan kata lain, aku ini menyukai kedua Negara ini.

Sampai akhirnya mereka bertanya secara langsung padaku, ingin di Jepang atau Indonesia. Jawabanku jelas Indonesia. Aku nggak sampai hati meninggalkan ayah sendirian di Indonesia.

Oh, ya. Kemarin aku marah-marah sama ibu baruku. Kira-kira sikapku kemarin itu membuat almarhumah bunda kecewa nggak, yah? Sebelumnya aku nggak pernah bicara kasar bahkan membentak orangtua, tapi kemarin aku malah melakukannya.

Kaina duluan sih yang memulainya. Ngapain ganggu-ganggu makanku? Lalu apa-apaan sikapnya yang seolah seperti ibu kandungku! Melarang ini dan itu, nggak boleh  begini dan begitu. Nggak hanya itu, bahkan dia ikut berkomentar soal Billy.

Ya Tuhan, mood-ku langsung turun  saat itu juga.
Nggak ada sedikitpun makanan yang aku sentuh sampai malam. Baik Bi Nana dan kaina terus bergantian mengetuk pintu kamarku untuk mengantarkan makanan. Namun eku nggak memedulikan mereka.

Akan tetapi semua perasaan kacau di dalam hatiku sirna begitu saja waktu ayah bilang mau mengajak kami liburan ke vila.

Rasanya sudah lama sekali sejak meninggalnya bunda aku dan ayah nggak pernah jalan-jalan. Aku memeluk ayah penuh suka cita, nggak lupa dengan ciuman sayang di pipi.

Hatiku kembali terobati dari rasa amarah siang tadi. Setelah mencium ayah, aku langsung bangun dan pergi ke kamar, tapi tiba-tiba ayah memanggilku.

“Mama cium juga, dong Mei.” Ayah tersenyum sambil merangkul Kaina.

Hah?  Menciumnya? Nggak salah? Duh malas banget deh.

“Kapan-kapan saja ya, Yah.” Aku menolak secara halus dan berlari kecil menuju kamar.

***

Aku memperhatikan ayah dan Kaina yang masih menikmati sarapan. Beberapa kali ayah menyuruhku ntuk sarapan walau hanya selembar roti. Apa ayah lupa? Aku ini nggak bisa makan kalau mau pergi.

Aku hanya bergumam lalu pergi ke garasi dsn masuk ke dalam mobil lebih duli. Di dalam aku memilih untuk tiduran sambil mendengarkan lagu. Nggak lama ayah sama Kaina datang.

"Sudah siap semuanya?" tanya ayah.

"Sudah!" Aku berujar semangat.

Sepanjang perjalanan aku memilih diam sambil mendengarkan beberapa musik instrument khas Jepang nggak lupa juga untuk memandangi foto bunda yang begitu cantik.

I HATE TO LOVE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang