Part 9

2.2K 270 11
                                    

Seorang pria masih saja duduk anteng di sofa sambil memijit pelipisnya bingung. Matanya pun tidak lepas dari pandangan Gladis yang sedang menangis di atas karper berbulu.

"Udah gak usah nangis," ujat Helta.

"Pokoknya roti Gladis harus nyambung lagi!"

Setelah selesai permasalahan pisang, Gladis menangis lagi gara-gara rotinya dia bagi dua lagi. Sudah beribu cara Helta lakukan. Sampai-sampai dia menjilati setiap sisi roti agar rotinya bisa menyatu kembali. Sementara para sahabatnya, telah pulang dari satu jam yang lalu. Karena, merasa tidak enak dengan Gladis. Merekalah yang membuat roti Gladis terbelah menjadi lima bagian yang asalnya dua bagian.

"Glad lo gak cape apa nangis terus?"

Helta berjalan ke arah Gladis. Tangannya terulur menyingkirkan anak rambutnya yang menutupi wajah sembapnya.

"Udah gak usah nangis. Roti 'kan banyak Glad, bukan itu aja," ucap Helta.

"TAPI GLAD MAU YANG ITU BUBU!"

"Heuh. Gue punya pacar, tapi kelakuannya kaya bocah umur tiga tahun aja," ucapnya pelan namun masih terdengar di telinga Gladis.

Gladis mengusap air matanya. "Gladis ngantuk, Gladis mau bobo aja," ucap Gladis tanpa menatap Helta.

"Glad. Gladis!" Helta menatap punggung Gladis yang mulai menjauh.

"Gue salah apa 'ya?" tanya Helta pada diri sendiri.

Heuh gue punya pacar kelakuan kaya bocah umur tiga tahun.

"Astagfirullah!" Helta mengusap wajahnya gusar.

Sontak Helta pun langsung berlari menyusul Gladis di kamarnya.

"Glad," ucap Helta saat dirinya telah tiba di depan pintu kamar.

"Pulang!"

"Mana bisa gue pulang, kalau lo sendirian di rumah," tolak Helta.

"Buka pintunya."

"Gak mau!"

"Kalau lo mau bukain pintu buat gue, gue kasih apapun buat lo."

Ceklek.

Gampang juga ngebujuk nih bayi.

Gladis membuka pintunya dengan senyum manis di bibir-nya. Helta memutar bola matanya malas. Giliran ada maunya, pasti gercep.

"Glad udah gak nangis." Gladis memasang wajah imutnya.

"Dari tadi ke," ucap Helta sambil menerobos masuk ke kamar Gladis.

"Sini duduk!" perintah Helta sambil menepuk kedua pahanya.

Dengan senang hati Gladis langsung duduk di pangkuannya.

"Dengerin gue Glad. Lo itu udah gede, coba lo ubah sikap lo yang manja itu secara perlahan. Karena, gak selamanya gue bakal ada  di samping lo."

"Maksud Helta, Helta mau ninggalin Glad?"

Helta menggelengkan kepalanya. "Gue sendiri gak mau pisah sama lo. Tapi, kalau gue ingat sama takdir, gue gak tahu kedepannya gimana," jawab Helta.

"Tapi, Glad gak mau pisah sama Helta," lirih Gladis sambil mengalungkan kedua tangannya pada leher Helta .

Helta mengusap pipi Gladis lembut.

"Udah gak usah sedih. Mending sekarang kita senang-senang aja, gimana?" tawar Helta.

Mata Gladis berbinar lalu turun dari pangkuan Helta.

Helta menaikkan alisnya saat melihat Gladis membawa gitar berukuran kecil, yang kerap sekali disebut okulele.

GLADIS [End | Revisi] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang