Bab 3

3 1 0
                                    

Cinta adalah perbuatan.
Kata-kata dan tulisan indah adalah omong kosong.
~Tere Liye~

“Ra, udah selesai belum? Cowok-cowok udah duluan jalan,” tegur Kak Diana.
Kak Diana adalah kepala cabang tempatku bekerja. Usianya sepuluh tahun lebih tua dariku. Hanya karena beliau belum menikah, beliau minta kami—para karyawan—untuk tidak memanggilnya dengan formal.

“Beres, Kak.” Aku mematikan komputer setelah yakin semua laporan telah tersimpan.

Satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Kafe Black White. Ternyata memang benar, kafe ini paling ramai dibanding kafe-kafe yang ada di sekitarnya. Selain lokasinya yang memang berada di sekitar universitas ternama, desain interiornya juga sangat menarik, mengusung tema kaula muda. Begitu masuk, kami sudah disuguhkan musik yang dibawakan band lokal.

“Wih ... selamat, ya, pengantin baru,” ucapku memeluk Nayla, teman sesama di bagian administrasi. Aku juga menjabat tangan Bambang—suami Nayla.

Seminggu yang lalu, Nayla melangsungkan pernikahan di kampungnya. Berhubung jarak tempuh yang terlalu jauh dan butuh dua belas jam perjalanan, maka hanya satu orang staf yang mewakili, yaitu Rendra. Sebagai bentuk solidaritas, Nayla menjamu teman-teman satu kantor malam ini setelah usai kerja.

“Terima kasih, Sayang,” balasnya penuh bahagia.

Usai makan, Rendra dan Teguh naik panggung. Mereka bernyanyi tanpa peduli puluhan mata memandang lucu. Saat mereka menyanyikan lagu Cari Jodoh milik Band Wali, kami ikut bersenandung di bagian reff-nya dan beberapa pengunjung juga mengikuti liriknya. Setelah usai, Rendra memanggilku agar bergantian naik ke panggung.

Aku meminta pemain band untuk mengambil nada, penuh penghayatan kunyanyikan lagu milik Judika, Jadi Aku Sebentar Saja.

Seandainya kamu merasakan, jadi aku sebentar saja.
Takkan sanggup, hatimu terima.
Sakit ini, begitu parah.

“Ra, Ra!” Rendra geleng-geleng kepala begitu aku duduk di sampingnya. “Nayla lagi berbahagia, pengantin baru, masa kamu nyanyiin lagu sedih.”

Aku hanya tersenyum miris mendengarnya. Tak terpikirkan olehku bersenandung bahagia untuk orang lain. Aku hanya terbawa suasana hatiku, seolah-olah hanya ada lagu sendu di hidupku. Ketika melihat orang lain duduk di pelaminan, aku merasa sedih, menangis tanpa alasan.

“Hai,” sapa seorang pria berwajah oriental pada Kak Diana.

“Hai, Kal. Terima kasih, loh, udah nyiapin tempat buat kami.”

“Aku yang terima kasih, kamu mau bawa teman-temanmu makan di kafeku. Oh iya, mana nih yang penganten baru?”

“Di sini, Mas.” Nayla mengacungkan tangan kanannya, sedangkan lengan kirinya masih bergelayut manja pada suaminya.

“Selamat, ya. Semoga berbahagia sampai tua.” Pria itu menjabat tangan Nayla dan Bambang bergantian.

“Oh iya, Gaes. Kenalin, ini teman kuliahku dulu sekaligus pemilik kafe ini, namanya Haikal Abrar.” Kak Diana memperkenalkan pria itu.

“Hai,” serentak kami menyapanya.

“Mau ikutan gabung nggak?” tanya Kak Diana pada Mas Haikal.

“Pengennya, sih. Tapi lagi rame banget nih, maklum malam Minggu. Lain kali aku janji traktir kalian sambil ngobrol-ngobrol. Sekarang, aku tinggal ya, kasihan pegawaiku.” Haikal berlalu setelah mendapat anggukan dari Kak Diana.

Malam semakin larut, jam di pergelangan tanganku menunjukkan angka sebelas, tetapi suasana kafe masih saja ramai. Kami memutuskan untuk pulang. Malam ini, aku berniat menginap di rumah Kak Diana. Rendra dan Teguh menawarkan untuk menemani dalam perjalanan. Mereka ingin memastikan bahwa kami sampai di rumah dengan aman. Walaupun jalanan kota masih banyak kendaraan berlalu-lalang, tetapi kejahatan bisa terjadi di mana saja tanpa mengenal tempat.

Perempuan dan KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang