Bab 4

2 1 0
                                    


Bila Allah menginginkan dua hati untuk bersatu,
Dia akan menggerakkan keduanya,
bukan hanya satu.


“Terima kasih ya, Mas, udah mau jagain motorku,” ucapku ketika menerima kunci dari Mas Haikal.

“Jangan sungkan. Teman Diana, kan, temanku juga.” Senyum terkembang di wajahnya, memperjelas lesung di kedua pipinya. “Kamu mau minum apa? Biar aku buatkan,” tawarnya ramah.

“Oh, nggak usah, Mas. Terima kasih. Aku lagi buru-buru.” Aku melihat jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul sebelas siang. “Aku pamit ya, Mas. Sekali lagi, terima kasih.”

Kulajukan motor dengan kecepatan tinggi. Lumayan, jalanan di hari Minggu tidak terlalu padat seperti hari kerja sehingga aku lebih cepat sampai di rumah.

“Kamu nggak pulang tadi malam?” selidik Ibu saat kucium dengan takzim punggung tangannya.

“Iya, Bu. Rara tidur di rumah Kak Diana. Tadi malam acara syukurannya Nayla selesai hampir larut malam.” Kurebahkan diri di kasur, meluruskan pinggang.

“Icha bilang, kamu memang jarang di rumah. Benar, begitu?” Ibu duduk di kasur Icha yang letaknya bersebelahan dengan kasurku.
Aku duduk menghadap Ibu, bersandar pada dinding kamar.

“Bu, Rara kan kerja. Setiap hari pulangnya sore, kadang juga malam kalau harus lembur. Itu pun cuma sampai jam delapan malam. Nah, kalau hari Minggu gini, Rara jalan sama teman-teman. Di rumah juga ngapain, coba?”

Aku berdiri mengambil air mineral yang selalu tersedia di atas lemari pakaianku. Perdebatan ini pasti akan panjang, tenggorokanku perlu dibasahi sebelum akhirnya benar-benar kering.

“Kamu nggak capek? Harusnya hari libur kamu istirahat di rumah, bukan keluyuran. Ibu takut kamu bergaul lama-lama sama Diana.”

Aku menautkan alis. “Kenapa?”

“Takut kalian menyimpang, jadinya lesbian!”
Aku tergelak mendengar perkataan Ibu. Sejauh itukah beliau mengkhawatirkanku.

“Ya Allah, ibuku sayang ....” Aku bergelayut manja pada lengannya. “Rara masih normal, Bu. Kak Diana juga. Kami hanya belum dipertemukan dengan jodoh yang tepat.”

“Ibu takut, kamu jadi keenakan sendiri seperti Diana. Lihat, umurnya sudah mau kepala empat, tetapi belum juga menikah. Perempuan kalau sudah berumur, susah dapat jodohnya.”
Terlihat kekhawatiran di mata tua itu. Padahal baru tiga bulan ini aku merasa nyaman setelah lepas dari Alam, tetapi kini realita kembali hadir. Ibu masih menginginkanku untuk segera mengakhiri masa lajang.

“Bentar lagi bapakmu jemput, kita ziarah ke makam nenek-kakekmu.”

“Kok, tiba-tiba? Biasanya kan, ziarah itu sebelum puasa atau pas lebaran.”

“Ada yang bilang sama Ibu, kalau kamu mau segera dapat jodoh, kita harus ziarah ke makam orangtua bapakmu. Kirim doa, minta restu karena dulu Ibu dan Bapak menikah, kan nggak direstui. Ibu sudah jelaskan itu sama bapakmu juga dan kebetulan bapakmu di sini jadi sekalian Ibu susul.”

“Oalah, Bu, itu tahayul. Jodoh itu udah disiapkan Allah.”

“Tapi, tetap harus usaha dan berdoa. Pokoknya segala ritual harus selesai hari ini.”

Aku melongo, heran. Ritual apa yang dimaksud Ibu? Di zaman modern ini, haruskah aku mundur ke peradaban silam? Aku menggelengkan kepala berulangkali.

“Bu, Rara nggak mau yang aneh-aneh, ya. Dosa syirik itu nggak terampunkan, loh, Bu.”
Kini giliran aku yang penuh kekhawatiran. Sebagai anak, bagaimanapun aku tetap harus meluruskan hal yang salah pada orangtua.

Perempuan dan KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang