Bab 9

1 0 0
                                    

Aku berharap mampu menundurkan waktu sehingga aku bisa bertemu denganmu lebih awal dan meluangkan waktu lebih banyak bersamamu.

Jilatan matahari tertinggal di sekujur tubuhku. Segera kusambar handuk yang tergantung di balik pintu kamar, memanjakan diri dengan aroma green tea dari body shampoo.
Segar rasanya setelah mandi dan keramas. Kupandang keluar jendela, terik mentari hari ini sungguh menyengat, padahal hari sudah menjelang sore. Jika begini, biasanya malam hari akan turun hujan. Terlebih ini sudah memasuki bulannya, bulan yang berakhiran '-ber'. Walau musim kini tak lagi sama seperti dahulu—sebelum atmosfer bumi menipis—hujan kini hadir tanpa bisa diprediksi.
Saat kecil, aku suka sekali mandi hujan, sambil melompat menghasilkan cipratan genangan air ke mana-mana. Lalu, ada masa ketika aku sangat takut sekali akan hujan, yaitu masa ketika aku duduk di bangku kelas tiga SMP. Bapak dan Ibu bertengkar hebat malam itu. Tak bisa kudengar dari balik pintu kamar apa yang diributkan kedua orangtuaku. Aku hanya mendengar tangisan Ibu yang melebur bersama derasnya hujan malam itu. Kulihat di balik celah pintu kamar, Bapak bahkan menampar Ibu. Ingin sekali kulindungi Ibu dari amarah Bapak. Namun, kakiku terasa beku, aku tak punya cukup nyali untuk keluar kamar. Aku hanya menangis sambil memeluk lututku yang gemetar.

Sejak malam itu, Bapak tak pernah lagi pulang. Hujan di malam itu membawa Bapak pergi dan kami benar-benar kehilangan figur seorang ayah. Aku dan Putra tak pernah bertanya pada Ibu, mengapa Bapak tak pernah lagi pulang ke rumah.

Satu sisi ada kedamaian tidak ada Bapak di rumah, tetapi di sisi lain keuangan terancam. Bapak seakan melupakan tanggung jawabnya. Beliau hanya memberi uang ketika Ibu meminta. Begitu pun uang yang diberi Bapak, tidak semata memenuhi kebutuhan hidup kami selama satu bulan. Ibu harus berjualan gorengan sambil memomong Firman demi kelangsungan hidup.

Namun, ketakutan akan hujan itu sirna ketika aku mengenal Arya. Banyak hujan kulalui bersama Arya. Semua serba terbalik, yang kusuka, tidak suka, yang kutakuti, tidak takut. Ternyata cinta berperan sangat besar mengubah seseorang. Dan mencintai Arya seperti candu bagiku. Setiap hari ingin selalu melihatnya. Sehari tak bertemu, entah seperti apa rasanya tak dapat didefinisikan.
Kuambil foto yang selalu tersimpan dalam dompetku. Kupandangi pas foto berukuran empat kali enam itu.

Arya Alvaro. Aku mengenalnya empat tahun lalu. Dia atasanku, manajer muda yang tampan dan gagah. Lulusan universitas nomor satu di ibu kota dengan nilai cum laude. Saat itu, dia menggantikan posisi Pak Andi yang naik jabatan—sekaligus dipindahtugaskan ke provinsi lain. Tubuhnya yang tinggi dibalut jas hitam dengan dasi biru navy bermotif polkadot menambah kesan menawan dalam dirinya.

Awalnya hubungan kami biasa saja, antara manajer dan karyawan. Namun seiring berjalannya waktu, kami menjadi lebih dekat. Arya memintaku untuk memanggilnya nama saja ketika tidak berada di kantor. Alasannya, karena umur kami hanya beda satu tahun dan dia tidak ingin terkesan tua dengan panggilan Pak.

“Ra, lagi apa?” ucap Arya dari ujung telepon.

“Nonton TV. Kenapa?”

“Eh, jalan yuk. Ke mana gitu, pokoknya tempatnya enak. Tahu nggak di mana?”

“Kapan? Sekarang?”

“Iya, sore ini. Bentar lagi aku jemput, ya. Kita ke mana?”

“Hemmm .... ke Pantai saja yuk, lihat laut,” kataku senang.

“Oke, aku gerak nih. Kamu siap-siap, ya. Jadi, begitu aku sampai kita langsung berangkat.” Sambungan telepon pun terputus.

Aku langsung menyambar handuk dan bergegas mandi. Dua puluh menit kemudian, Arya menjemput. Arya memakai celana jeans biru dan kaos longgar berwarna senada. Pakaiannya lebih santai. Sementara aku memakai celana jeans biru dongker dan kaos lengan panjang berwarna hitam. Satu jam kemudian, kami sampai ke tujuan.

Perempuan dan KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang