Bab 8

2 0 0
                                    

Allah menciptakan senja untuk mengingatkanku untuk pulang pada cinta yang kukenang.

“Ma, Ma.” Satria menarik-narik lengan Ane sambil menunjuk ke arah playground. Sepertinya, jagoan kecil ini tidak sabar untuk segera bermain.

“Iya, mainnya sama Mbak aja, ya.” Ane menoleh ke arah tangga, “Nah, tuh mbaknya.” Seorang gadis belia mengahampiri. “Mbak, tolong temani Satria main, ya,” pinta Ane. Gadis itu hanya mengangguk dan langsung membawa Satria bermain.

“Itu pengasuh Satria?” tanyaku.

“Iya, yang dulu udah nggak kerja lagi karena sakit-sakitan. Yang ini baru tamat SMA,” jelas Ane.

“Pantas, kelihatan masih muda,” gumamku.

Bersyukur, walau dulu hidup pas-pasan, tetapi aku bisa juga menyelesaikan pendidikan S1 meski harus bekerja sambil kuliah. Jika tidak, mungkin aku bernasib sama dengan gadis itu.

“Oya, kenapa ke kota? Ada kerjaan, ya?” Aku menyeruput jus jeruk yang tak lagi dingin.

“Besok ada pelatihan.” Ane masih memperhatikan jagoannya bermain.

“Mungkin kalau aku menikah, umur anak kita nggak beda jauh,” ucapku lebih tepat pada diriku sendiri. Menatap Satria yang bermain perosotan. Sesekali dia berteriak ketika tubuh mungilnya meluncur kemudian ditangkap pengasuhnya.

Ane mengalihkan pandangannya padaku. “Kamu menyesal?” tanya Ane. Ada penekanan di nada suaranya.

Aku menggeleng. “Menyesal sekarang pun percuma, ‘kan?” tanyaku balik.

“Dulu udah pernah kubilang minta aja pertanggungjawabannya. Tapi, kamu bersikeras nggak mau. Setelah itu apa yang kamu dapat? Kamu dicampakkan!” Wajah Ane memerah menahan marah. Tiap kali menyinggung Arya, Ane pasti berang.

Pembicaraan terhenti saat pramusaji datang membawa pesanan. Ane memanggil pengasuh Satria untuk makan bersama. Menu ayam penyet dan jus jeruk Ane letak di hadapanku. Dia hapal betul kesukaanku karena tiap makan bersamanya, aku selalu memesan menu yang sama.

Kupandangi nasi yang ada di hadapanku. Jika bersama Arya, setengah nasi ini akan dimakannya karena tak pernah habis satu porsi untukku. Dia tak pernah merasa jijik saat menghabiskan sisa makananku.

“Kok diliatin aja?” tanya Ane heran. “Atau mau ganti pesanan?”

“Nggak, cuma kayaknya bakal nggak habis nih. Tadi aku udah makan sate,” kilahku.

“Tapi, nggak pake lontong kan makannya?” tanyanya lagi.

Aku menjawab dengan anggukan kepala. Ini pun dia hapal kebiasaanku jika sesekali ingin makan sate Madura selalu memesan satenya saja.

“Kamu tetap harus makan nasi. Habiskan!” perintahnya.

Setelah selesai makan, bocah tiga tahun ini minta bermain di playground lagi. Namun, Ane hanya mengizinkan Satria bermain ayunan saja dengan alasan Satria baru selesai makan, tidak boleh berlari atau melompat-lompat.

Sepertinya Satria tumbuh menjadi anak yang penurut, kelihatan dia mengangguk-angguk saat Ane berbicara. Satria juga bukan anak yang rewel, sedari tadi aku tidak melihatnya menangis karena sesuatu. Dia juga makan dengan tenang saat disuapi Ane.

Aku menghela napas panjang. “Kalau aku menikah waktu itu, apa aku bahagia? Aku tidak seberuntung dirimu,” keluhku.

Sialnya, aku dan Ane sama-sama tidak direstui keluarga dari pasangan kami. Namun, Mas Hendra—suami Ane—sangat mencintainya hingga perjuangan cinta mereka sampai juga ke pelaminan. Dan Satria adalah bukti cinta mereka.

Perempuan dan KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang