#PerempuandanKenangan
#Bab10
Tidak ada manusia yang tak mengenal cinta, dan tidak ada orang yang tahu apa itu cinta.
****
Bagaimana kamu bisa menghindari rasa, setiap kali bertegur sapa, bahkan cukup mata yang berbicara, seolah ada medan magnet yang membuat ketertarikan di antara kita berdua. Siapa yang mampu menepis cinta jika pesonanya mampu menggetarkan jiwa. Kebersamaan yang terjalin serta kenyamanan berada di sisinya. Aku seperti mengizinkannya memporak-porandakan hatiku. Sejak kubiarkan bibirnya menyentuh bibirku, aku tak melakukan sedikit pun penolakan.Di kantor, Arya bersikap seperti hal kemarin tak pernah terjadi. Dan demi profesionalitas, aku pun melakukan hal yang sama. Namun, di luar kantor hubungan kami semakin dekat. Terkadang kami makan siang bersama. Arya membawaku ke tempat makan favoritnya.
“Sup daging di sini enak. Kalau kita nggak cepat datang, bisa-bisa nggak kebagian,” ucapnya saat menunggu pesanan.
Mataku memperhatikan sekeliling. Jika dilihat dari tempatnya, orang tidak akan berminat untuk singgah karena warungnya hanya terbuat dari papan yang bahkan warna catnya sudah memudar. Namun, jika dilihat saat ini, banyak orang datang. Tentu saja karena penasaran.
Warung ini bisa dikatakan terlalu ramai, melihat lokasinya yang jauh dari jalan raya. Bahkan, harus melewati beberapa gang untuk bisa sampai ke sini. Jika disuruh kembali ke sini seorang diri, aku takkan bisa mengingat jalannya. Aku sangat susah mengingat jalan. Oleh karena itu, aku lebih suka makan di tempat yang sama dengan menu yang sama.
“Gimana? Enak, ‘kan?” tanya Arya ketika suapan terakhir lolos ke dalam mulutku.Aku menjawab dengan anggukan kepala sambil tersenyum puas. “Bagaimana kamu bisa tahu di sini ada makanan enak?”
“Dari Boy,” jawabnya singkat.
Boy adalah junior Arya semasa SMA dan kini mereka tinggal satu rumah bersama Romiteman kuliah Boy. Aku bertemu dengannya kemarin malam saat nge-gym bersama Arya. Selain teman satu rumah, mereka juga member di tempat fitness yang sama.
***
Sore tadi, setelah pulang kerja Arya mengantarku ke kosan berganti pakaian serta mengambil tas yang sudah kupersiapkan untuk berangkat. Katanya, Boy dan yang lain ngajak liburan. Liburan singkat di akhir pekan.Semua sudah berkumpul saat kami tiba di rumah Arya. Setelah Arya bersiap-siap, kami pun berangkat menggunakan mobil milik orangtua Romi. Dua jam perjalanan kami tempuh dan berakhir di sebuah penginapan yang tidak jauh dari tempat wisata yang akan kami tuju esok hari. Ini adalah malam Minggu pertamaku bersama Arya dan teman-temannya.
Musik mengalun dari ponsel Boy. Aku dan Arya sibuk mengipasi arang yang membakar ayam.
“Siapa yang menyiapkan ini semua?” tanyaku pada Arya saat membalik ayam agar tidak gosong.
“Boy dan Wita. Mereka berdua yang merencanakan liburan ini,” jawab Arya sambil terus mengipasi arang.
“Kayaknya mereka udah terbiasa, ya. Lihat aja persiapannya. Kita tinggal bakar ayamnya aja,” kataku takjub.
Panggangan, arang, minyak tanah, serta ayam yang sudah dibumbui. Mungkin dari pagi tadi mereka sudah menyiapkan ini semua.
“Udah biasa, aku pun dulu saat kuliah sering buat acara seperti ini,” ucap Arya sambil terus mengipasi arang.
Wah, seru sekali masa kuliah Arya dan teman-temannya. Beda jauh dengan diriku. Aku tak pernah berbaur seperti ini karena harus sibuk bekerja demi bisa membayar biaya kuliah. Sejak mengenal Arya, semua menjadi hal baru dalam kehidupanku. Ditambah, teman-temannya yang ramah membuatku nyaman saja walau baru kenal.
Setelah semua ayam di bakar, kami berkumpul di joglo. Wita memberikan masing-masing satu bungkus nasi pada kami. Wita juga sudah menyiapkan sambal kecap dalam mangkuk Tupperware.
Boy mengeluarkan dua kotak kartu domino. Permainan dibentuk menjadi dua kelompok. Yang kalah, hukumannya jongkok atau wajahnya dicoret dengan arang.
Arya memilih jongkok. Aku dan Romi ikut masuk ke dalam kelompok Arya. Sementara Boy, Wita, Andre, dan Toni bermain dalam satu kelompok.
Ternyata malam ini aku tidak beruntung, aku yang paling lama jongkok. Berbeda dengan Arya dan Romi. Sepertinya mereka sangat menguasai permainan ini. Di kelompok lain, yang paling apes adalah Toni. Wajahnya menghitam, hampir seperti pantat kuali. Kami tak henti-hentinya tertawa jika melihat wajahnya.
“Yuk, Kak. Kita tidur aja,” ajak Wita saat malam mulai larut.
Aku menuruti Wita, mana mungkin aku berbaur dengan yang lain tanpa Wita. Aku berjalan sambil memperhatikan mereka semua. Arya, Boy, dan Romi. Mereka setengah teler. Sementara Toni perkataannya sudah ngawur, sepertinya dia mabuk berat. Arya sedari tadi diam saja, dia terus memandangiku. Entah apa yang ada di benaknya. Air mukanya menyimpan kesedihan. Inginku bertanya, tetapi aku merasa kecewa melihat sisi lain Arya.
Aku tidak tahu mengapa ada acara minum-minum setelah permainan usai. Mengapa juga dia harus ikut-ikutan minum seperti yang lain? Apakah dia sengaja mengajakku malam ini hanya untuk memperlihatkan sisi buruknya?
“Mereka nggak apa-apa begitu, Wit?” tanyaku pada Wita saat masuk ke dalam kamar.
“Enggak apa-apa, Kak. Aku sudah tanya Boy, katanya cuma minum dikit. Kalau Toni emang nggak bisa minum, makanya langsung mabuk gitu.” Wita mengunci kamar.
Kini, kami sama-sama melihat keluar dari jendela. Toni terus mengoceh, sedangkan yang lain terbahak-bahak mendengarnya. Hanya Arya yang tak menunjukkan reaksi apa pun.
Apakah kamu menyimpan kesedihan yang mendalam, Arya?***
Pagi ini bukan cuma aku yang bangun kesiangan, melainkan Wita juga. Kalau anak cowok jangan ditanya, entah jam berapa mereka tidur tadi malam.Saat keluar kamar, aku melihat Arya duduk menyendiri di bawah pohon. Dia menatap ke langit, matanya menerawang. Hadirku saja tak dia sadari.
“Kupikir kamu masih molor,” tegurku.
Aku duduk di sampingnya menatap langit seperti yang Arya lakukan. Apa yang dilihatnya? Langitkah? Atau pohon yang mulai menjulang? Atau dia hanya merasakan semilir angin dari dahan-dahan yang bergoyang?
“Kamu tahu apa nama pohon ini?” tanya Arya tanpa mengalihkan pandangan.“Tidak,” jawabku sambil menggelengkan kepala.
“Ini, pohon Kiara Payung.”
“Wah, hampir mirip namaku. Kinara,” kataku sekenanya.
Arya tersenyum menatapku. “Ya, memang. Pohon ini selalu meneduhkan jika berada di dekatnya, seperti saat berada di dekatmu.” Segaris senyum terlukis di wajah sendunya.
Desiran itu kembali hadir, seirama suara dedaunan yang bergerak. Aku menunduk menutupi gejolak asmara.“Yang lain kok belum bangun, ya? Udah jam berapa ini?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Pura-pura melihat arloji di pergelangan tanganku.
“Kamu tahu, aku sempat cemburu melihatmu tadi malam begitu dekat dengan Romi,” ucap Arya seolah tak mendengar perkataanku.
Aku tertawa kecil sambil menutup mulutku. Tak bisa dipungkiri, hatiku senang mendengar kata cemburu keluar dari mulut Arya. Bukankah cemburu itu tanda cinta?
“Kamu tidak ikut minum seperti mereka?” kataku semalam pada Romi. Suara musik yang menggema membuatku harus berbicara dekat di telinganya.
“Enggak, Kak. Aku sangat menghindari tiga penyakit seorang laki-laki. Yang pertama minum, kedua judi, ketiga wanita. Sekali mencoba akan ketagihan,” jelas Romi.
Hanya itu pembicaraan kami dan langsung membuat Arya cemburu. Memang tatapannya penuh arti kepada kami saat itu.
“Enggak ngapa-ngapain, kok cemburu? Lagi pula, dia kan di bawahku umurnya,” kataku asal.
“Alah, cuma beda setahun.” Arya terlihat kesal.
Sesaat hening menyapa. Aku tak tahu harus berkata apa.“Minggu lalu, aku datang ke rumah Aina, melamarnya.” Arya buka suara.
Sejenak tadi, kurasakan bunga-bunga tumbuh bermekaran saat Arya mengatakan cemburu. Namun, dalam hitungan menit bunga itu langsung layu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan dan Kenangan
Romance"Aku tidak punya alasan mencintai, seperti kayu habis dibakar api atau daun yang jatuh oleh angin. Aku hanya tahu bahwa saat ini aku mencintaimu dengan sepenuh jiwa, jiwa yang terluka." Kinara Larasati mencintai dan menganggap Arya Alvaro adalah jod...