Bab 7

2 1 0
                                    

Aku menginginkanmu seutuhnya, selamanya,
kamu dan aku, setiap hari.
~Nicholas Sparck~

“Halo, Ra. Lagi kerja, ya?” tanya Ane dari seberang telepon.
Ane adalah sahabatku. Dari SD sampai SMA kami satu sekolah, bahkan saat SMA kami satu bangku.

“Nggak. Aku lagi di stasiun nih, ngantar Ibu. Kamu di mana?” Aku punya feeling kalau Ane sedang berada di kota.

“Berarti kamu nggak kerja, dong? Ketemuan yuk,” ajaknya.

“Ayok,” jawabku senang. “Di mana?”

“Di Kafe Black White aja, nggak terlalu jauh dari rumah mertuaku. Kamu tau?”

“Tau. Malam Minggu kemarin, aku baru nongkrong di sana.”

“Wih, nongkrong sama gebetan baru, ya?” goda Ane dari seberang.

“Nggak. Bukan—” Belum selesai aku bicara, Ane sudah memotongnya.

“Tapi, aku senang loh kalau kamu udah move on. Ntar kita ceritanya di sana aja, ya. Sekitar setengah jam lagi kita ketemuan, ya.”
Setelah sepakat, Ane memutuskan sambungannya. Aku berjalan menuju parkiran motor. Saat duduk, pantat seperti berada di atas penggorengan. Jok motorku panasnya luar biasa.

“Kenapa tukang parkir nggak mau nutupin pakai kardus kayak di depan toko-toko kelontong itu. Taunya terima duit aja,” rutukku dalam hati.

Setelah membayar, kulajukan motor matic kesayanganku menuju Kafe Black White. Jarak stasiun ke kafe Mas Haikal lumayan jauh, tetapi setidaknya aku bisa sampai lebih dulu di sana jika berangkat sekarang.

Setelah memarkirkan motor, aku masuk ke dalam kafe menuju lantai dua. Aku ingin ngobrol dengan Ane sambil melihat orang lalu-lalang dari lantai dua. Jika di lantai satu terdapat lebih banyak meja dan panggung mini, di lantai dua kebalikannya. Ruangan di lantai ini dikelilingi kaca tembus pandang. Hanya ada sekitar tiga meja di balkon dan dua meja di dalam. Ada sebuah musala kecil dengan kamar mandi di sampingnya dan taman bermain anak.

Kalau saja panasnya tidak menyengat, mungkin aku lebih memilih duduk di balkon. Kuputuskan duduk di kursi yang meja berada di sisi kaca mengahadap jalan raya. Aku bisa melihat kendaraan lalu-lalang di jalan raya dari sini. Kuambil ponsel dari dalam tas selempangku, berniat menghubungi Ane. Namun, muncul notifikasi dari aplikasi berwarna hijau itu.

[Ra, sorry. Aku agak telat. Anakku baru bangun tidur nih, sekalian aku ajak aja. Kamu udah sampai, ya?] Pesan dari Ane.

[Udah, baru aja. Nggak apa. Nggak usah buru-buru, beresin aja dulu si ganteng.]

Kukirim gambar playground yang berada di sisi kiri mejaku dengan caption,

[Aku tunggu di sini, oke?] Dan langsung centang dua berwarna biru.

[Sip, sabar ya, Sayang] Ane mengirim balasan dengan emoticon kiss. Senyum terkembang di wajahku membaca balasannya.

Ane memang super ramai sedari dulu. Berbeda jauh dariku, yang lebih pendiam. Sebenarnya bukan pendiam, tetapi lebih ke rendah diri. Sejak kehilangan figur seorang ayah, aku menjadi anak yang minder-an.

Saat SMA, aku hanya memiliki teman yang bisa dihitung dengan jari, tetapi tidak dengan Ane. Hampir tiap kelas dia punya kenalan. Ditambah lagi dia anak basket, pergaulannya sungguh luas sampai di SMA lain.

Kami memiliki latar belakang keluarga yang hampir sama, yaitu sama-sama anak broken home. Bedanya, kalau bapakku menikah lagi sejak aku SMP, sedangkan papanya Ane sejak Ane kelas tiga SMA. Namun begitu, papanya Ane masih tinggal serumah dengan anak-anaknya. Ane dan adik-adiknya tidak pernah merasakan kekurangan materi sedikit pun.

Perempuan dan KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang