Karena cinta, duri menjadi mawar.
Karena cinta, cuka menjelma menjadi anggur segar.
~Jalaluddin Rumi~Selepas salat Isya, Ibu tertidur pulas. Ibu pasti sangat kelelahan setelah perjalanan enam jam dari kampung, ditambah seharian di luar—ziarah dan singgah ke tujuh masjid.
“Kak, aku tidur di kamar Kak Febri.” Icha mengambil laptop dan tas yang tergeletak di kasurnya. “Tadi Kak Febri bilang, Kak Salsa nggak pulang. Kakak tidur di kasurku aja.”
“Oke, Cha. Terima kasih, ya,” ucapku sebelum Icha membuka kenop pintu. Dia hanya membalas dengan anggukan.Febri dan Salsa adalah senior Icha di kampus. Mereka sedang menyusun skripsi. Aku mengenal mereka dua tahun lalu. Saat itu aku sedang mencari indekos, kemudian membaca tulisan menerima anak kos yang ditempel di batang pohon mati yang ada di halaman rumah.
Aku langsung menghubungi nomor yang tertera dan itu adalah nomor Icha. Icha bermaksud mencari teman sekamar agar meringankan biaya rumah sewa. Rumah minimalis ini memiliki ruang tamu yang hanya berukuran tiga kali tiga, dua kamar tidur, satu kamar mandi yang terhubung dengan dapur kecil. Setelah melihat keadaan rumah, aku melakukan kesepakatan pada Icha, yaitu membayar dua bulan uang kos. Jika aku merasa nyaman, maka sisa untuk setahun ke depan akan aku lunasi.
Nyaman dalam artianku bukanlah bagaimana rumah ini, tetapi adalah penghuninya. Satu bulan setelah tinggal bersama mereka, aku sudah merasa nyaman. Aku yang sibuk bekerja dan mereka yang sibuk dengan kuliah membuat kami hanya berjumpa di malam hari sebelum tidur dan pagi sebelum berangkat beraktivitas dan itu tentu saja membuat interaksi di antara kami sangat minim. Namun, kami tetap menghargai satu dengan yang lain, terutama Icha teman sekamarku.
Kuambil buku kumpulan doa yang tersusun rapi di atas lemari pakaian yang tingginya hanya sebatas bahuku. Kubuka halaman pertamanya, tertulis nama Karim Amrullah Nasution. Buku ini adalah pemberian darinya, hadiah ulang tahunku setahun sebelum aku mengenal Arya.
Entah mengapa aku merindukan Bang Karim. Dia tak pernah menghubungiku lagi setelah kejadian empat tahun lalu. Saat Arya mengajakku makan di hari ulang tahunku.
***
Empat tahun silam
Seketika perasaan senang dan bahagia berganti kecemasan yang tiada tara. Senang karena menghabiskan waktu bersama Arya, cemas karena Bang Karimabang angkatku tiba-tiba mengakhiri panggilan sepihak.“Telepon dari siapa?” tanya Arya.
Motor melaju dengan kecepatan pelan. Jelas dia mendengar percakapan singkat tadi.“Eh, itu ....” Kata-kataku menggantung karena pikiran sudah tak lagi di raga.
Tak sabar menunggu sampai di rumah, kucoba menelepon kembali nomor Bang Karim, tetapi nomornya sudah tidak diaktifkan.“Kok nggak aktif, sih?” Rasa sesal dan sedih meresap bersamaan. Segala praduga terus memenuhi satu pertanyaan yang hinggap di kepala.
“Kenapa, Ra?” Arya masih menunggu penjelasan. Sepeda motornya masih melaju dengan pelan, sesekali Arya menoleh ke belakang.
“Tadi telepon dari Bang Karim, ngucapin selamat ulang tahun. Tapi, setelah kubilang habis makan sama kamu, telepon terputus. Kenapa, ya?” Suaraku kini penuh keputus-asaan.
“Dia marah, kamu jalan samaku?”
Aku terperanjat. Itu adalah salah satu praduga yang hinggap sedari tadi. Namun, kenapa harus marah? Bukankah sebelumnya aku telah bercerita tentang Arya.“Dia kan cuma Abang angkat, aneh kalau dia marah. Aku juga punya adik angkat cewe. Ya biasa saja kalau dia jalan sama cowok mana pun.” Terdengar nada kesal Arya.
Aku tak mampu berkata-kata. Karim Amrullah Nasution memang hanya seorang abang angkat bagiku. Namun, kedekatan kami selama dua tahun ini membuat ikatan itu lebih erat di banding dengan Rian—kekasihku, karena aku lebih dulu mengenal Bang Karim daripada Rian. Hanya dengan Bang Karim aku mampu bercerita apa saja—tentang keluarga dan keseharianku selama di kantor. Hanya padanya, aku bisa berbagi suka dan duka.
Aku mengenalnya dua tahun lalu ketika dia membantu adikku, Putra. Itu kali pertama Putra ke kota. Putra baru saja tamat SMA dan ingin melanjutkan kuliah. Saat itu Putra kehilangan ponselnya, mungkin jatuh saat dia ke toilet ketika bus berhenti. Dia tidak ingat pasti bagaimana bisa kehilangan ponselnya.
Bang Karim yang saat itu duduk di sebelahnya, menyadari kegelisahan Putra dan menanyakan apa yang terjadi pada Putra. Sepanjang perjalanan, Putra dan Bang Karim bercerita banyak hal. Dan sesampainya di kota, Bang Karim mengantarkan Putra ke rumah kontrakanku.
Saat itu tak hanya dengan Putra, aku dan Bang Karim pun menjadi dekat. Dia pria yang dewasa, tampan, murah hati, dan mapan. Tubuhnya tinggi besar, sekitar wajahnya ditumbuhi bulu-bulu halus. Rasa kagum berubah menjadi rasa ingin memiliki, tetapi seiring berjalannya waktu aku mencoba membunuh segala kemungkinan kami bisa bersama.
Bagaimana tidak, sesaat dia memperlakukanku dengan hangat, sesaat kemudian dia bersikap tak acuh. Usianya terpaut delapan tahun dariku, tetapi dia seperti anak remaja yang labil. Dalam setahun, dia bisa berganti nomor telepon sampai tiga kali.
Sejak saat itu, aku mulai memahaminya. Tak pernah lagi bertanya kenapa dia tiba-tiba tak ada kabar. Kubiarkan dia datang dan pergi sesukanya.
Bang Karim berusia 29 tahun, dia bekerja di Bank BUMN menjabat kepala supervisor. Dia aslinya dari kota, hanya karena pekerjaan, kini tinggal di kampung halamanku.
Pernah kutanya padanya kenapa dia belum menikah. Itu adalah pertemuan ketiga kami. Aku memintanya menemaniku pergi ke resepsi pernikahan teman ketika kebetulan dia pulang ke kota. Kami memang jarang bertemu hanya sering berkomunikasi via udara.
Saat itu Bang Karim menjawab, Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya, dan karena agamanya. Maka, hendaklah kamu pilih karena agamanya (keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi. (HR. Bukhari-Muslim). Aku pengennya dapat keempatnya, hehehehe.”
Aku mulai sadar diri, segera terbangun dari angan yang kuciptakan sendiri. Kenyataannya, kedekatan yang terjalin dari intensnya komunikasi tidak menjamin dia menyukaiku. Kenyataan lain adalah aku tidaklah memiliki sekaligus keempat hal yang diucapkannya barusan. Namun, beberapa kali dia memberi pertanyaan menjebak padaku.
Seperti beberapa bulan lalu saat sedang berbicara via telepon, tiba-tiba dia bertanya, “Ra, kalau kamu dapat suami, tetapi dipindahtugaskan kerja ke Papua kamu mau ikut?”
“Ya maulah. Ke mana pun suamiku pergi aku selalu mendampingi,” jawabku mantap.
“Tapi ini jauh loh, Papua. Kamu bakal jauh dari keluarga dan pastinya tidak seperti kota kita yang ramai.”
“Ya nggak apa-apa. Namanya ikut suami, di mana pun pasti menyenangkan.”
“Abang dapat tawaran jadi kepala cabang di sana, cuma belum yakin terima atau tidak.”
“Abang coba kompromi sama keluargalah. Belum tentu mamak Abang izinkan?” Cuma itu saran yang bisa kuberi.
Dari percakapan kami selama dua tahun ini, aku tahu keluarganya sangat mengkhawatirkannya. Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Di usianya yang sudah pantas menikah, tetapi dia masih betah melajang, sibuk bekerja sampai kadang makan pun tak teratur. Ini karena ibunya yang pemilih. Pernah dia memperkenalkan beberapa wanita pada ibunya, tetapi tidak ada yang cocok. Begitu juga wanita pilihan ibunya, tidak pernah ada satu pun yang nyantol di hati Bang Karim.
Kupandangi mukena putih yang tergantung di balik pintu kamarku. Itu juga adalah hadiah ulang tahunku dari Bang Karim. Entah mengapa aku memintanya memberiku mukena sebagai kado ulang tahun dan dia mengajakku ke sebuah pusat belanja terbesar di kota ini. Dia memintaku memilih sendiri mukena yang kumau.Aku jatuh hati pada sebuah mukena berwarna putih dengan sulaman bunga sakura berwarna maroon. Dia juga memintaku memilih satu mukena lagi yang bisa dibawa ke mana pun, yang selalu berada di dalam tas kerjaku. Mukena berbahan satin berwarna manggis. Tiga benda ini menjadi kenanganku pada Bang Karim.
Karim Amrullah Nasution. Sejak itu, dia menghilang lagi tanpa pamit. Bahkan sampai sekarang dia tak pernah lagi hadir. Tanpa sadar, air mata jatuh membasahi pipiku. Darinya aku mendapatkan perhatian yang tak pernah kudapat dari seorang bapak kandung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan dan Kenangan
Romance"Aku tidak punya alasan mencintai, seperti kayu habis dibakar api atau daun yang jatuh oleh angin. Aku hanya tahu bahwa saat ini aku mencintaimu dengan sepenuh jiwa, jiwa yang terluka." Kinara Larasati mencintai dan menganggap Arya Alvaro adalah jod...