Cumulonimbus : 26

40 8 17
                                    

Ujian Nasional sudah menyapa. Ah, bukan menyapa lagi, tapi sudah menjerit sampai membuat kepala pening bukan main. Sejauh ini, aku baik-baik saja. Maksudku, aku bisa menjawab sebagian besar soal-soal yang muncul pada layar komputer sekolah dengan baik. Yah, kecuali matematika.

Ya Tuhan, demi kulit kerang ajaib! Soal matematikanya dahsyat sekali! Bayangkan, tinggal 15 menit terakhir dan aku baru menjawab 7 soal! Hanya 7 soal! Astaga, selama ini apa yang kupelajari di sekolah? Kenapa ini sulit sekali?! Rasanya otakku hampir pindah ke tempurung kepala orang lain karena tak sanggup kuajak kerja sama menjawab soalnya.

Ah, sudahlah. Toh, sudah berlalu juga—datang, kerjakan dan lupakan. Lagipula, aku sudah tidak yakin nilai matematika-ku akan menembus angka 4.

Kubereskan barang-barang yang akan kubawa pulang. Seragam atau beberapa barang yang sekiranya bisa dipakai adik kelas akan kutinggalkan agar tidak terlalu memberatkanku. Malam ini, kamarku lebih parah berantakannya daripada lantai utama kapal Titanic setelah bah air menerjang dan menyapu semua yang ada di hadapannya.

Tapi tidak akan lama, tanganku ini punya kekuatan super untuk mengerjakan sesuatu dengan gesit. Di sela-sela aku mengemas barang, kupejamkan netraku rapat, tersenyum pelan, 'Well, Ri, kamu berhasil sampai sejauh ini, tinggal persiapkan diri untuk sesuatu yang lebih menantang lagi, Semangat!'

Sewaktu guruku selalu gembar-gembor mengatakan kalau jadi murid kelas 3 itu tidak akan terasa, aku tak begitu percaya. Dan sekarang, aku mengalaminya sendiri. Terheran-heran, bertanya-tanya, bagaimana bisa waktu yang lama berlalu secepat ini tanpa terasa? Rasanya, baru beberapa hari yang lalu aku dan Rama bolak-balik Samarinda dan desaku untuk mengantar berkas dan seleksi wawancara. Lalu sekarang sudah hampir lulus dari SMA.

Malam ini, di sisi muka pintu tiap-tiap kamar terdapat kardus atau wadah untuk meletakkan hadiah. Sekolahku punya tradisi unik! Di saat malam perpisahan, kami akan menjelma jadi Sinterklas dadakan dengan satu kresek besar di tangan yang berisi hadiah-hadiah kecil lalu menyusuri koridor asrama dan meletakkan hadiah tersebut di kardus yang dilengkapi nama pemiliknya.

Hampir semua penghuni asrama meletakkan wadah di depan kamarnya. Iya, hampir, karena aku adalah satu-satunya orang yang tidak mengikuti tradisi itu. Bukannya tidak ingin, hanya saja, uangku tidak cukup untuk membelikan seisi asrama putri dengan barang yang berguna. Beberapa dari mereka bilang, belikan saja yang murah, yang penting ada. Sekali lagi, biar kuperjelas jika kurang bisa dipahami. Barang murah, tetap butuh dana mahal jika kuantitasnya besar. Paham?

Aku tidak punya uang sebanyak itu. Dan aku tidak ingin memanfaatkan momen ini untuk meraup hadiah sebanyak mungkin karena aku tidak bisa memberi kenang-kenangan pada mereka. Maka, kuputuskan untuk tidak meletakkan apapun di depan pintu kamarku.

Yah, awalnya aku mengira teman-teman asramaku akan melupakanku. Berharap mereka membawa balik hadiah yang mereka persiapkan untukku karena aku merasa tidak cukup pantas untuk menerimanya. Tapi ternyata, mereka sangat sanggup membuatku terharu. Mereka tidak menagih hadiah mereka, dan mereka meletakkan hadiah untukku di atas meja belajarku.

Berbicara tentang hadiah, aku tak menyiapkan hadiah apapun untuk Rama.

Entah kenapa, aku hanya merasa itu bukanlah sesuatu yang perlu kulakukan. Aku sudah berusaha mati-matian menghindarinya dan menghilangkan perasaan yang tumbuh subur bahkan berbuah ranum dalam hatiku.

Aku serius ingin melupakannya.

.

.

.

Pagi terasa merayap dengan cepat, seperti tak ingin berlama-lama menahan seratus lebih anak manusia dalam gulungan hangatnya selimut agar segera menuntaskan apa yang akan segera jadi akhir untuk hari ini. Penebusan terakhir selama 3 tahun yang berat dan menyenangkan. Agaknya, hari ini akan ada begitu banyak air mata yang keluar dari persembunyiannya, akan ada banyak pelukan raga yang mendekap erat dan menghangatkan hati.

Cumulonimbus [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang