5. Bintang Sirius

395 154 308
                                    

FOLLOW DAN VOTE SEBELUM MEMBACA

“Sesekali coba tanyakan pada mereka, sakitnya sedalam apa, hingga tawanya selantang itu?”

Selamat Membaca

••••..................••••

Nalan mengambil duduk di tepi tempat tidur Langit saat sudah diizinkan masuk oleh pemiliknya. Netra Nalan mengedar pada seisi ruangan bernuansa kelabu yang dipadupadankan dengan cat tembok berwarna putih.

Kamar Langit sangat rapih, dan memang selalu rapih. Nalan memperhatikan Langit yang sibuk menulis di meja belajarnya. Sedari awal dia masuk ke kamar Langit, sama sekali tak ada interaksi antara keduanya. Meski begitu, Nalan akan tetap berada di kamar Langit untuk waktu yang cukup lama karena sudah menjadi kebiasaannya sedari kecil, adalah menghabiskan waktunya di kamar Langit hingga ia merasa ngantuk.

"Kakak lagi ngerjain apa sih?" tanya Nalan, mulai merasa penasaran pada apa yang menjadi fokus kegiatan Langit, hingga tak sempat mengajaknya berinteraksi.

"Tugas, sebentar lagi selesai." Langit menjawab.

Nalan kemudian mengangguk. Ia berjalan ke arah jendela kamar Langit. Menatap taburan bintang yang ikut menerangi bumi di atas sana, di balik tirai yang sengaja ia buka. Netra Nalan terfokus pada satu bintang yang terlihat lebih terang dari banyaknya taburan bintang lain di sana.

"Bintang itu bagus banget, Kak," ucap Nalan dengan tatapan memujanya.

Langit yang masih fokus pada tugas sekolahnya hanya berdeham, mengangguk sebagai tanggapan dari ucapan Nalan.

"Kira-kira bintang yang paling terang itu siapa ya, Kak?" Nalan kembali berkata.

Di usia beranjak dewasa, Nalan semakin ingin tahu akan banyak hal. Bahkan pada hal-hal yang tidak terlalu penting sekalipun. Nalan suka bertanya banyak pada Langit. Nalan suka berargumentasi dengan Langit. Nalan juga suka bercerita akan hal-hal random yang baru saja terjadi, bahkan telah lama terjadi dalam hidupnya. Namun, Nalan tidak pernah menceritakan apa yang menjadi bebannya. Apa yang dirasanya pada Langit, dan apa yang menjadi tanda tanyanya selama ini, tentang mengapa ayah dan bundanya lebih menyayangi Langit dibanding dirinya.

"Sirius," jawab Langit.

Nalan menatap Langit yang masih sibuk mengerjakan tugasnya. Rasa penasarannya semakin besar saat mendengar jawaban dari Langit.

"Namanya sirius?" tanya Nalan.

Saat tugasnya dirasa selesai, Langit merapikan buku di meja belajarnya. Lalu, mulai menyiapkan pelajaran yang akan dibawa besok. Setelahnya Langit berjalan menghampiri Nalan, dan mengambil duduk di tepi tempat tidurnya. Menatap Nalan yang berdiri di depan jendela kamar sambil fokus menatap pada gemintang di atas sana.

"Seirios, diambil dari bahasa Yunani, artinya berkilau," jelas Langit saat netranya mengikuti arah pandang Nalan pada satu bintang yang paling terang di atas sana.

Nalan membalikkan badan sejenak, kedua alisnya bertaut sempurna. "Kenapa cuma dia yang paling terang? Emang Bintang lain enggak cemburu, Kak?" tanya Nalan.

Pertanyaan itu berhasil membuat sudut bibir Langit terangkat mengukir senyum tipis. Pertanyaan-pertanyaan Nalan kadang di luar dugaannya. Namun, entah kenapa Langit sangat senang. Sebanyak apapun pertanyaan jika itu keluar dari mulut Nalan, mungkin Langit akan siap menjawabnya kapanpun dan dalam situasi apapun.

"Duduk sini," titah Langit. Ia menunjuk tempat tidurnya agar Nalan mengambil duduk di samping cowok itu.

Tanpa berpikir panjang, Nalan segera menghampiri Langit. Menempatkan dirinya di sebelah Langit, dengan pandangan keduanya yang sama-sama fokus pada taburan gemintang di balik tirai jendela yang masih dibiarkan terbuka.

Pulang untuk NalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang