06 // Kata-Kata yang Tersesat

682 77 23
                                    

Bagian Enam: Kata-Kata yang Tersesat.

"I used to pray for a miracle but now I know that it's all over." Chemicals, Dean Lewis.

ʕ⁎̯͡⁎ʔ

Gue nggak mau terdengar menyedihkan, tapi hal-hal seperti itu, gue udah nggak merasakannya untuk waktu yang lama.

            Kata-kata itu masih terngiang di telinga Nora bahkan setelah ia tiba di apartemen, menghabiskan nyaris tiga puluh menit di bawah guyuran air dingin dan kini berdiri di balkon kamar dalam balutan piyama dengan susu kemasan di satu tangan. Langit sudah sepenuhnya berubah gelap. Jalanan di bawah mulai sepi, namun sesekali ia masih bisa melihat kedip lampu mobil yang melintas dalam kecepatan tinggi serupa kilatan cahaya.

            Meski deru mesin kendaraan, juga desau angin yang berhembus samar, silih berganti memenuhi pendengarannya, bunyi-bunyi itu tetap tidak cukup kuat untuk menghalau gema kata-kata Raffa. Eleonora tidak mengerti kenapa kalimat tersebut begitu mengusiknya. Mungkin cara Raffa menyampaikannya—kelewat ringan, seolah perasaan semacam itu adalah hal yang wajar untuk dirasakan. Mungkin juga bagaimana laki-laki itu dapat dengan mudah membagi bebannya. Sesuatu yang tidak dapat Nora lakukan.

            Ia kembali terlempar pada waktu yang mereka bagi bersama di sudut Bob's. Setelah membaca deretan kata yang ditorehkan Raffa pada buku catatannya, Nora dapat menyimpulkan satu hal; bahwa meski terlihat sepenuhnya baik-baik saja, laki-laki itu berjarak begitu dekat dengan kehancuran. Ada yang menggerogotinya dari dalam. Sesuatu yang menurut Nora jauh lebih besar dari hati yang patah, meski Nora tidak tahu jelas apa.

            Sebelum memutuskan untuk berhenti dan mengambil pekerjaan sebagai manajer Constant Star, Nora sangat akrab dengan jalinan huruf dan kata. Hampir setengah dari dua puluh empat jamnya ia habiskan berkutat dengan barisan kalimat yang terjalin menjadi kisah-kisah indah. Cerita yang bersembunyi dibalik tiap paragraf, rasa sedih, senang dan gundah yang diakhiri tanda titik, Nora mengenalnya dengan baik. Mungkin itu juga yang menjadi dasar dari ucapan Nora yang terkesan lancang pada Raffa saat laki-laki itu meminta komentarnya perihal lirik buatannya.

            Kata-kata yang Raffa tulis tersusun rapi meski beberapa terputus dan tersesat tanpa menemukan jalan untuk menyelesaikan maksudnya. Dan mungkin kata-kata itu memang tidak memiliki tujuan yang jelas selain untuk memenuhi permintaan Label karena Nora tidak dapat menemukan nyawa di sana. Sulit bagi Nora untuk mendeskripsikan apa yang sebenarnya ia lihat dibalik deretan kata-kata itu, yang jelas ia dapat merasakannya; bahwa apa-apa yang laki-laki itu tulis tidak berasal dari hati dan terkesan mati.

            Raffa tidak terlihat tersinggung sama sekali dengan komentar Nora. Alih-alih bersikap defensif, laki-laki itu malah bertanya sungguh-sungguh. "Kalau begitu lo ada saran apa yang harus gue lakukan? Gue nggak melihat ada jalan untuk menulis lagu-lagu kasmaran sedangkan gue nggak merasakan itu."

            Nora mengernyitkan kening. "Lo nggak harus jatuh cinta untuk menulis tentang cinta."

            Revelasi itu adalah sesuatu yang Nora dapatkan dalam tahunan hidupnya membaca karya-karya orang lain. Seseorang tidak harus menjadi koki terkenal untuk memerankan tokoh chef galak yang jatuh cinta pada pegawainya di halaman buku. Seseorang tidak harus basah dan berdarah untuk menulis puisi tentang hati yang terluka dan harapan yang pupus di bawah hujan. Hal-hal yang ditulis berdasarkan kisah nyata terkadang memang terasa lebih personal. Namun bukan berarti hal-hal yang murni berasal dari imajinasi tidak dapat membekaskan rasa yang sama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

How to Let Go (Sequel Unsent Letters)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang